Di zaman modern seperti sekarang ini banyak generasi muda yang kurang memahami pentingnya nguri-uri budaya Jawa. Berbeda dengan KGPH Hadiwijaya yang semasa hidupnya mengabdikan diri untuk menjaga kelestarian serta membekali generasi setelahnya sebagai pewaris dan penerus budaya leluhurnya.

Seperti yang termuat dalam Majalah Relung Pustaka terbitan 7 Juli 1970, Hadiwijaya diceritakan memiliki perawakan besar dan tubuh tinggi dengan kumis tebal yang menutupi senyum menawannya, serta sorot mata tajam yang mampu membuat lawan biacaranya segan. Hadiwijaya dikenal dengan orang yang memiliki fisik kuat serta ingatan yang tajam. Ketika usianya menginjak 81 tahun, beliau masih sanggup untuk pulang pergi melakukan perjalanan darat menggunakan kereta dan bisa dari Solo menuju Bali.

KGPH Hadiwijaya, seorang budayawan yang merupakan putra dari Pakubuwono X.

Hadiwijaya lahir di Keraton Surakarta pada 18 November 1888. Dilahirkan sebagai seorang putra dari Sunan Pakubuwono X, membuat Hadiwijaya memperoleh pendidikan secara kuno yang diawasi oleh ayahnya sendiri. Pendidikan tersebut diantaranya mengaji, berlakon, menari, dan bermain anggar. Akan tetapi kemudian beliau meneruskan pendidikannya di Universitas Leiden jurusan Indologie.

Hadiwijaya dikenal akan kecintaannya terhadap dunia arkeologi dan kepenulisan. Beliau gemar menjelajahi daerah-daerah yang terdapat peninggalan benda bersejarah dan kemudian mengumpulkannya. Puluhan tulisan karangannya juga sudah banyak yang termuat dalam surat kabar baik dalam bahasa Jawa maupun bahasa asing. Kegemaran-kegemarannya inilah yang membuat Hadiwijaya berbeda dengan saudara-saudaranya. Beliau tidak ingin terkukung dalam tingginya tembok-tembok Keraton dengan aturan-aturan baku yang membatasi ruang gerak belajarnya.

Sebagai seorang bangsawan, Hadiwijaya amat berjasa karena berhasil mendirikan sekolah-sekolah seperti Sekolah Angka Loro di desa-desa, HIS, AMS, Ambacht School pada masa pemerintahan Belanda. Bahkan menurut riwayat, Hadiwijaya tercatat sebagai pendiri Museum Sana Pustaka yang kemudian menjabat sebagai ketua dari tahun 1920. Sejak tahun 1926 beliau menjabat sebagai ketua Radya Pustaka. Dalam perjalanan karirnya ini, Hadiwijaya berhasil menemukan ilmu tentang keris atau kerisologi. Hal ini kemudian menjadikan Hadiwijaya dikenal sebagai Bapak Keris Indonesia.

Ketika Hadiwijaya menginjak usia yang sudah tidak lagi muda, kegemarannya akan membaca dan belajar sama sekali tidak bisa dilepaskan. Beliau senang membaca dan mengumpulkan surat kabar, khusunya tentang kebudayaan, dari kedutaan asing maupun perpustakaan. Dari situlah kemudian Hadiwijaya membuat perbandingan antara tulisan asing tersebut dengan karangan-karangan miliknya. Beliau juga akan senang sekali jika ada yang bertamu untuk membahas tentang kebudayaan, baik dari dalam negeri maupun orang asing sekalipun. Hadiwijaya merasa dengan cara itulah kelestarian budaya, khusunya budaya Jawa, akan tetap terjaga. Hidup yang sepenuhnya dicurahkan untuk merawat warisan leluhur demi kejayaan serta keagungan nusa dan bangsa Indonesia, membuat Hadiwijaya dianugrahi penghargaan sebagai perintis kemerdekaan oleh Pemerintah RI. (Anna)

Sumber :

Majalah Relung Pustaka, 7 Juli 1970, halaman 39-41.