Kedatangan Balatentara Dai Nippon di tanah Jawa membawa perubahan besar dalam masyarakat. Salah satu program yang dilakukan pemerintah Dai Nippon yaitu menanamkan semangat bagi para pemuda dan memerhatikan pendidikan maupun pengajaran. Pemerintah Negeri Solo-Kootji pada masa itu percaya bahwa pemudalah yang akan mewujudkan Jawa baru, semangat baru, dan kehidupan baru. Program ini disambut gembira oleh bangsa Indonesia terutama pada masyarakat Surakarta.

Pemerintah Solo-Kootji hanya memiliki hak untuk mengurus Sekolah Pertama (Volksschool pada masa Belanda). Oleh karenanya, pemerintah mengusahakan perhatian penuh agar pendidikan dan pengajaran di Sekolah Pertama dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tidak hanya siswa, pun guru-guru di kota Solo dituntut untuk mengikuti kursus yang diadakan oleh pemerintah Solo-Kootji dengan tujuan agar menambah wawasan dan memperdalam dunia pendidikan. Berikut ini tiga Sekolah Pertama di Solo-Kootji: Sekolah Pertama yang didirikan oleh Solo-Kootji; Sekolah Pertama yang didirikan oleh Ken-Ken; Sekolah Pertama yang pernah didirikan oleh Pemerintah Belanda dan telah diserahkan kepada pemerintah Surakarta. Sekolah ini dinamakan “Sekolah Pertama Teroesan”

Proses pembelajaran dan pengajaran

Total sekolah yang didirikan pemerintahan Solo-Kootji terdapat 101 sekolah yang terdiri dari: 8 sekolah yang diberi pengajaran tentang pekerjaan tangan bernama “Sekolah Pakarjan” di Selo, Bojolali, Ngoeter, Tawang, Kemasan, Gemolong, dan Gondang. Pemerintah Solo-Kootji juga mendirikan sekolah Agama Islam bernama “Mamba el Oeloem” yang berada di Soerakarta, Sragen, Gemolong, Podjok, Klaten, Bojolali, Pengging, dan Soekahardja. Sekolah Islam tersebut dikelola oleh suatu panitia (commissie), namun beberapa diantaranya dikelola oleh Badan Partikoelir.

Pada bulan Januari tahun 1943, Pemerintah Solo-Kootji membentuk “Panitia Pemberantas Buta Huruf” yang dijalankan dengan Pemerintah Pangreh Praja. Program tersebut diterima oleh masyarakat, setelah dua bulan berjalan panitia mampu membentuk beberapa kursus, yakni di Goen Soekahardja, Goen Bekonang, Goen Kartosoera, Goen Gondang Winangoen, Son Prambanan, dan sebagainya. Kursus-kursus tersebut dibimbing oleh guru-guru Sekolah Pertama di Solo-Kootji dan pegawai-pegawai desa. Adanya usaha dalam pemberantasan buta huruf mendorong masyarakat untuk lebih maju dan mengikuti perkembangan zaman.Lalu bagaimana pendidikan untuk pemuda di Solo-Kootji?

Pemoeda-pemoeda sedang bertaiso

Pemerintah Solo-Kootji tidak hanya memperhatikan dalam hal pengajaran, tetapi juga pendidikan. Dalam hal ini pemerintah membentuk “Panitia Gerakan Pemoeda Solo-Kootji”. Panitia tersebut berkewajiban untuk memberi tuntunan dan pendidikan kepada para pemuda di desa-desa seluruh Solo-Kootji. Tujuan dibentuknya Panitia “Gerakan Pemoeda Solo-Kootji” antara lain: Mendidik pemuda-pemuda, supaya menjadi manusia yang sempurna. Artinya menjadi manusia yang berpengalaman cukup, memiliki sehat badannya, baik budi pekertinya, dan cinta kepada sesama manusia. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, yakni: Pertama, Mengadakan kursus untuk memberi berbagai pengetahuan; Kedua, Mengusahakan pendidikan olahraga; Ketiga, Memberi pelajaran tentang budi pekerti; dan Keempat, Melatih pemuda-pemuda untuk rela bekerja untuk keperluan umum. (Devi Murdyaningsih)Sumber Referensi : Asia Raya, 29 April 1943