Surakarta (31/05/2023) – Ada lima tantangan terhadap kebebasan pers di Indonesia saat ini. Salah satunya adalah serangan digital yang dilakukan terhadap insan pers seperti intimidasi, kriminalisasi, doxxing, DDoS, penyadapan, perundungan siber, pelabelan hoax terhadap pemberitaan dan lainnya. Hal ini disampaikan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Surakarta Anas Syahirul Alim dalam Diskusi Publik Refleksi Indeks Kebebasan Pers Indonesia di Monumen Pers Nasional, Rabu, 31 Mei 2023.

“Seperti kasus baru-baru ini di Klaten, Jawa Tengah. Para wartawan banyak dilabeli sebagai penyebar hoax, sehingga menjadi tugas dan PR kita dalam menunjukkan bahwa wartawan bukan penyebar hoax,” ujar Anas.

Tantangan lain antara lain regulasi yang merugikan pers seperti UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE sampai UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang dapat mengekang dan mengontrol pers sehingga pers tidak dapat leluasa menjalankan fungsinya. “Diharapkan dapat diamandemen demi keberjalanan demokrasi di dalam negeri,” tandasnya.

Selain itu, tantangan selanjutnya adalah persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi oleh media seperti pemutusan hubungan kerja sepihak tanpa memperhatikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja; potensi pemberedelan lembaga pers mahasiswa (LPM) di kampus; dan ancaman terhadap pers di tahun politik.

“Kepentingan pers tidak hanya kalangan pers saja, namun juga harus mengajak elemen yang lain salah satunya masyarakat. Edukasi pers sangat penting ditanamkan kepada masyarakat agar melek mengenai pers serta regulasi-regulasi yang ada,” kata Anas.

Diskusi Publik Refleksi Indeks Kebebasan Pers Indonesia merupakan kegiatan yang diselenggarakan Monumen Pers Nasional dalam rangka ajang refleksi atas laporan Indeks Kebebasan Pers Sedunia yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) awal Mei kemarin. Dalam laporannya disebutkan Indonesia mendapat ranking 108 dari 108 negara. Meski naik dari peringkat 117 pada tahun sebelumnya, peringkat ini masih jauh di bawah Malaysia (73) dan Timor Leste (10).


Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Dewan Pers Muhammad Agung Dharmajaya mengatakan Jawa Timur adalah salah satu provinsi yang masih berada pada kategori rendah dalam indeks kebebasan pers. Salah satu faktornya adalah kekerasan kepada kalangan wartawan. Menurutnya, wartawan harus lebih memperhatikan lagi metode peliputannya dan harus selalu verifikasi sebelum penyebarluasan suatu informasi.

“Komunitas pers menjadi garda pertama autokritik pers, yang belum baik mari kita perbaiki dan yang sudah baik mari kita pertahankan,” ujar Agung.

Sejalan dengan tujuan dilaksanakannya diskusi ini, Kepala Monumen Pers Nasional Widodo Hastjaryo menambahkan, bahwa Monumen Pers Nasional sebagai bagian dari stakeholder/pemangku kepentingan dan ekosistem pers di indonesia selalu mendukung/mendorong kolaborasi dan kemitraan antara seluruh stakeholder pers untuk memperkuat kebebasan pers di Indonesia.

Diskusi ini juga turut dihadiri oleh Direktur Pengelolaan Media Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nursodik Gunarjo dan Kepala Museum Penerangan. Sejumlah wartawan lokal dan mahasiswa pemerhati pers juga menjadi peserta diskusi. (Ardi)