Solosche Radio Vereeniging (SRV) merupakan stasiun radio profesional pertama yang berdiri di kota Solo. Pada 1 April 1933 bertempat di gedung Societeit Mangkoenegaran (sekarang menjadi Monumen Pers Nasional) diselenggarakan rapat perhimpunan jaringan penyiaran radio yang dipimpin oleh RM Ir. Sarsito Mangunkusumo. Beliau merupakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Praja Mangkoenegaran yang dipercaya oleh KGPAA Sri Mangkoenegoro VII untuk mengelola siaran radio.

Teknologi penyiaran radio sendiri baru dikenal ketika Mangkoenegoro VII menerima hadiah berupa pesawat radio dari seorang Belanda pada tahun 1927. Pesawat radio yang dikenal dengan sebutan radio toestel tersebut pertama kali digunakan oleh Mangkoenegoro VII beserta Gusti Ratu Timoer untuk mendengarkan siaran langsung pidato Ratu Wilhelmina dari Kota Eindhoven, Belanda.

Mangkoenegoro VII kemudian tertarik untuk memanfaatkan teknologi penyiaran radio untuk menyebarluaskan kebudayaan dan kesenian tradisional. Awalnya beliau memproduksi piringan hitam sendiri yang berisi musik dan lagu tradisional Jawa yang diberi merek Columbia GLX, hingga kemudian merintis jaringan penyiaran radio dengan membeli pemancar tua milik Djocjchasche Radio Vereeniging, sebuah radio milik swasta Belanda di Yogyakarta.

Pemancar tersebut diserahkan kepada perkumpulan seni Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkoenegaran yang kemudian menyiarkan musik gamelan Jawa (klenengan) melalui call sign PK2MN. Nama tersebut sejatinya merujuk pada kode radio amatir Jawa Tengah yaitu PK2 dan MN singkatan dari Mangkoenegoro VII, namun masyarakat juga menyebutnya sebagai Perkumpulan Karawitan Kring Mangkoenegaran.

Ketika siaran PK2MN mengalami penurunan kualitas mengingat kondisi pemancar radio yang sudah tua, RM Sarsito mengusulkan untuk merenovasi total peralatan siaran radio PK2MN. Gagasan tersebut diterima baik oleh organisasi dan RM Sarsito ditunjuk sebagai pimpinan proyek pengadaan pemancar radio baru dengan melibatkan tidak hanya anggota perkumpulan Mardiraras namun juga pihak diluar organisasi. Hal inilah yang kemudian menjadi cikal bakal pendirian radio SRV. Pendirian SRV merupakan awal pertumbuhan jaringan Radio Ketimuran yang dikelola sendiri oleh bangsa Indonesia dan bertujuan untuk mengangkat derajat kebangsaan melalui penyebaran kesenian dan kebudayaan nusantara. Menurut RM Sarsito, mati hidupnya kesenian menjadi tolok ukur dalam derajat kebangsaan. Pesan ini disampaikan dalam pidato rapat perhimpunan radio tersebut dan mencengangkan para anggota yang hadir dengan pemikiran beliau. Dalam rapat pendirian SRV yang dihadiri oleh 9 anggota tersebut menghasilkan keputusan pendirian Radio Ketimuran SRV berikut susunan Badan Pengurus SRV dengan RM Sarsito terpilih sebagai Ketua.

Dimulai dari Titik Nol

Modal awal pendirian SRV berasal dari iuran kesembilan anggota rapat yang memberikan kontribusi masing-masing sebesar f.1 (satu gulden). Kabar pendirian SRV pun segera disebarluaskan dan sebanyak 100 orang kemudian langsung mendaftar menjadi anggota. Menurut catatan Gusti Nurul, sampai dengan tahun 1939 anggota SRV telah mencapai 2.500 orang.

Pada awalnya SRV belum dapat mengudara secara maksimal karena masih menggunakan pemancar lama bernama YDA2. Guna menyempurnakan siaran, Ketua SRV kemudian menghubungi Perusahaan Telpon dan Telegraph (PTT) Belanda di Bandung untuk menyewa pemancar dengan biaya f.90 (sembilan puluh gulden) dan membeli peralatan baru sebesar f.1.500 (seribu lima ratus gulden). Dengan kas SRV yang baru mencapai f.600 (enam ratus gulden) para pengurus SRV merasa keberatan dengan biaya tersebut, sehingga RM Sarsito pun meminta bantuan kepada Mangkoenegoro VII yang kemudian bersedia menanggung biaya pembelian alat pemancar.

Setelah melalui proses negosiasi pembelian yang memakan waktu 9 bulan, pemancar baru SRV akhirnya tiba di Solo pada hari Sabtu tanggal 5 Januari 1934 dan dapat langsung digunakan untuk siaran sore itu juga. Selain mendapat bantuan biaya, SRV juga memperoleh ijin resmi dari Patih Mangkoenegaran KRMT Sarwoko Mangunkusumo (kakak dari RM Sarsito) untuk menempatkan peralatan pemancar SRV berikut pasokan tenaga listriknya di Pendopo Kepatihan Mangkoenegaran. Studio dan peralatan SRV tersebut menempati ruangan sebelah timur Pendopo yang berukuran 3×5 meter. Disebelah studio terdapat ruangan yang digunakan sebagai Sekretariat SRV, sedangkan tower pemancar terletak di halaman depan Pendopo.

Siaran perdana SRV pada saat itu langsung dipancarkan hingga ke negeri Belanda. Melalui telegram pihak Belanda menginformasikan bahwa siaran SRV dapat diterima dengan baik di Eropa. Kemudian pada tanggal 24 Januari 1934, SRV menyiarkan alunan gamelan dari Istana Mangkoenegaran secara langsung (live) dengan didahului sambutan oleh KRMT Sarwoko Mangunkusumo. Dalam perkembangannya, SRV kemudian membangun studio sendiri atas bantuan Mangkunegoro VII tepatnya di Jalan Marconi No. 1 Kestalan. Di atas tanah seluas 5.000 meter persegi itu didirikan bangunan yang dirancang oleh arsitek Belanda, Ir. FD van Olden. Peletakan batu pertama dilakukan oleh putri Mangkoenegoro VII, Gusti Nurul pada tanggal 15 September 1935, setelah pembangunan selesai kemudian diresmikan pada tanggal 23 Agustus 1936. Gedung SRV tersebut hingga saat ini masih berdiri dan dipergunakan oleh stasiun RRI Surakarta, dengan alamat Jl. Abdulrahman Saleh Kestalan, Surakarta. Sebagai tanda penghormatan terhadap jasa para perintis SRV, pada tanggal 1 April 2010 ruang auditorium RRI Surakarta diberi nama auditorium Sarsito Mangunkusumo.

Komitmen SRV sebagai Radio Ketimuran

SRV memiliki acara unggulan berupa siaran kebudayaan dan kesenian tradisional nusantara serta acara khusus untuk anak-anak. Setiap sore terdapat kerumunan anak-anak di dekat studio SRV yang menunggu giliran untuk menyanyi di studio. Siaran anak-anak kemudian menjadi segmen yang banyak ditunggu-tunggu dan mendapat sambutan menggembirakan dari masyarakat Kota Solo dan sekitarnya.

Sejak adanya SRV, kesenian tradisional mendapatkan wadah untuk berkembang melalui media radio yang modern. Pengurus SRV memastikan acara kesenian tidak terbatas hanya klenengan saja melainkan acara budaya lainnya seperti lakon wayang kulit, orkes gambus dan kroncong, lagu-lagu daerah Sunda dan Bali, lagu Arab dan Jepang, hingga musik dan lagu modern. Secara konsisten SRV berpegang teguh pada prinsip kesenian sebagai persemaian nasionalisme dan kemenangan dalam perlawanan budaya.

Perlawanan budaya merupakan bentuk perjuangan yang dilakukan kaum penyiaran Indonesia melawan hegemoni budaya Barat yang masuk akibat pendudukan dan penjajahan Belanda. Dalam hal ini SRV juga menghadapi resiko sosial-ekonomi mengingat mayoritas pendengarnya merupakan kaum intelektual (kelas menengah pemilik pesawat radio) yang cenderung banyak terekspos oleh budaya Barat. Namun diluar dugaan siaran budaya ketimuran SRV dapat diterima dengan baik oleh kalangan intelektual hingga jumlah anggota pun semakin meningkat mencapai 4.000 orang (tahun 1940). 

SRV mampu bersaing dengan stasiun radio Belanda karena siaran SRV memiliki positioning yang jelas sebagai Radio Ketimuran, dan segmen pendengar yang jelas yaitu kaum intelektual kelas menengah yang gemar akan kebudayaan Timur. Namun kelemahan SRV terletak pada pengadaan materi siaran, karena peredaran piringan hitam lebih dikuasai oleh Belanda sehingga SRV kesulitan memperoleh piringan hitam khusus kesenian tradisional terutama yang berasal dari daerah diluar pulau Jawa.

Kebijakan siaran SRV kemudian dijadikan sebagai garis kebijakan siaran Radio Ketimuran lainnya, yaitu komitmen isi siaran Rasio Ketimuran harus memberikan ruang seluas-luasnya bagi budaya dan kesenian Timur. Hal ini yang menjadi dasar pengembangan jaringan Radio Ketimuran di berbagai wilayah lain yang berafiliasi dengan SRV dan mendorong terbentuknya asosiasi radio Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK) pada 28 Maret 1937.

Perkembangan SRV di luar Kota Solo

Sejak resmi berdiri di tahun 1933, SRV telah berhasil melakukan langkah kebijakan strategis dalam bidang penyiaran. SRV memiliki tiga program kerja yang menjadi tonggak sejarah penyiaran radio Indonesia, yaitu pendirian cabang-cabang di luar kota, penataan dan pengembangan isi siaran, serta peningkatan prasarana studio dan pemancar.

SRV tidak hanya berkembang pesat di Kota Solo tetapi juga berhasil mengembangkan pembentukan cabang-cabang radio di luar kota. Awalnya SRV melakukan pengelompokan anggota perkumpulan pendengar radio SRV di kota-kota tertentu, kemudian dibentuk organisasi yaitu jaringan Perkumpulan Radio Ketimuran yang berafiliasi kepada SRV. Perkembangan jaringan Radio Ketimuran di luar kota Solo sebagian diprakarsai oleh pengurus SRV langsung atau pihak yang berafiliasi dengan SRV, seperti Radio Semarang, VORO Jakarta, VORL Bandung, serta VORS dan CIRVO Surabaya. Di kota-kota tersebut stasiun-stasiun radio dapat berdiri secara mandiri, namun di beberapa kota lain (Bogor, Purwokerto dan Madiun) perkumpulan radio Ketimuran telah dibentuk meski tanpa mendirikan stasiun radio.

Di era kejayaannya, siaran SRV mampu menjangkau berbagai wilayah nusantara. Hal ini dapat dilihat dari persebaran jumlah anggota SRV yang meliputi berbagai kota besar di Indonesia. Di Pulau Jawa siaran SRV diterima merata di seluruh wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Pulau Sumatera anggota SRV tersebar di wilayah Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka, dan Lampung. Di wilayah Utara  siaran SRV menjangkau Pontianak, Tarakan, Banjarmasin dan Kandangan. Di bagian Timur siaran SRV juga diterima di Sulawesi Selatan, Pulau Bali, Pulau Sumbawa, dan Nusa Tenggara Barat. Selain melakukan pembinaan intensif terhadap jaringan Perkumpulan Radio Ketimuran di berbagai kota, SRV juga mengusung kebijakan keterbukaan dan akuntabilitas pengelolaan lembaga penyiaran. SRV mendorong para anggota untuk membayar iuran bulanan untuk kelangsungan siaran, dan setiap bulannya SRV menerbitkan buletin Warta SRV (selanjutnya menjadi Pewarta SRV) yang secara konsisten menyampaikan laporan keuangannya. (Arnain)