Tanggal 31 Maret 1927, Mangkunegoro VII dan Permaisuri Gusti Ratu Timoer dengan didampingi Ir. Sarsito Mangunkusumo dibuat takjub, ketika mendengarkan pidato Ratu Wilhelmina yang dipancarkan dari Laboratorium Philips di Kota Eindhoven, Belanda. Mereka dibuat terheran-heran dengan kotak kayu yang bersuara itu, Sarsito bahkan berkata, “Bagi beberapa orang yang ada di Prangwedanan, itu adalalah saat yang tak terlupakan”. Pengalaman yang luar biasa waktu itu, bisa mendengarkan suara dari seberang lautan, dengan perantara kotak ajaib yang disebut radio toestel, hadiah dari seorang Belanda.

Sejak peristiwa malam itu, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Sri Mangkunegoro VII, penguasa Mangkunegaran 1916 – 1944, mulai tertarik di dunia penyiaran. Ditugaskanlah Ir. Sarsito Mangunkusumo, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Praja Mangkoenegaran untuk mendirikan stasiun radio. Sejak saat itu pula setiap ada produk radio baru di Eropa, Istana Mangkoenegaran selalu mendapat kiriman. Inilah awal perkenalan bangsa Indonesia dengan teknologi penyiaran radio.

Mangkunegoro VII dikenal sebagai raja yang modern, demokratis dan nasionalis. Lahir pada tanggal 12 November 1885 dengan nama Raden Mas Suparto, beliau adalah putra dari Mangkoenegoro V dan merupakan anak ketujuh serta putra ketiga dari 28 bersaudara. Tanggal 3 Maret 1916 beliau dilantik menjadi penguasa baru Mangkoenegaran dengan gelar Pangeran Adipati Aryo Prangwedono, setelah pamannya yaitu Mangkoenegoro VI mengundurkan diri dari tahta. Saat berusia 40 tahun yaitu pada tahun 1924 barulah beliau menyandang gelar KGPAA Sri Mangkunegoro VII. Mangkoenegoro VII memiliki hubungan erat dengan kaum pergerakan, beliau sempat bekerja di surat kabar Dharmo Kondo dan bergabung dengan Budi Utomo hingga diangkat sebagai Ketua pada Agustus 1915. Selain itu Mangkoenegoro VII juga dikenal sebagai seorang budayawan dan sastrawan yang sangat mencintai kesenian bangsa sendiri. Semangat beliau untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan nusantara yang mendorong lahirnya jaringan perkumpulan penyiaran Radio Ketimuran di Indonesia.

Foto 1 Mangkoenegoro VII beserta Gusti Ratu Timoer dan Gusti Nurul

Berbekal pengetahuannya ketika menjadi salah satu anggota organisasi radio amatir milik Belanda yaitu Netherlands Indische Vereeniging Radio Amateur (NIVERA), Mangkoenegoro VII mengawali upayanya merintis penyiaran radio di Kota Solo. Beliau kemudian menghadiahkan pemancar radio yang dibeli dari Djocjchasche Radio Vereeniging Yogyakarta kepada kelompok kesenian Javansche Kunstkring Mardi Raras Mangkunegaran untuk menyiarkan musik tradisional (klenengan atau gamelan), ketoprak, dan wayang orang. Stasiun radio amatir ini diberi callsign atau kode panggil PK2MN (Jawa Tengah Mangkunegaran) Namun karena pemancarnya kecil, jangkauan siarannya juga tidak begitu luas, hanya di sekitar Kota Solo saja.

Selama PK2MN mengudara, Mangkunegoro VII juga sempat mengambil langkah dengan merekam musik-musik dan lagu tradisional (klenengan) ke dalam piringan hitam, bukan perkara mudah, mengingat peralatan dan sumber daya manusia yang menguasainya masih jarang waktu itu. Namun dengan kegigihannya, akhirnya Mangkunegaran berhasil merilis piringan hitam sendiri dengan merk “Columbia GLX”. Namun karena keterbatasan durasi dari piringan hitam, akhirnya banyak siaran PK2MN yang merupakan siaran langsung (live).

Bagaimanapun, PK2MN tidak mampu menyaingi pemancar yang lebih kuat dari radio-radio Belanda yang memperdengarkan musik dan budaya-budaya barat. Dengan berbekal zender bekas, teknik dan manajemen yang kurang bagus, Sarsito pun mengusulkan dilakukan pembenahan total terhadap PK2MN. Hingga akhirnya pada 1 April 1933, perkumpulan kesenian ini beserta wartawan mengadakan rapat di gedung Societeit Mangkoenegaran (sekarang Monumen Pers Nasional) yang dipimpin oleh Ir. Sarsito Mangunkusumo, untuk membahas pendirian pemancar radio baru.

Dalam pidatonya, Sarsito menyampaikan bahwa pemancar baru yang akan dibeli menentukan harkat dan martabat bangsa Nusantara. Tidak hanya menghasilkan keputusan pengadaan pemancar saja, namun rapat ini juga melahirkan sebuah perhimpunan radio oemroep yang diberi nama Solosche Radio Vereeniging (SRV), organisasi penyiaran radio profesional pertama yang dikelola oleh kaum bumiputera, dengan 9 orang anggota badan pengurus, dan Sarsito terpilih sebagai ketuanya. Siaran awal SRV masih menggunakan pemancar lama milik PK2MN, sehingga kualitas siarannya kurang baik karena usia peralatan yang sudah tua.

Sejak diumumkannya pendirian SRV, banyak yang langsung mendaftar menjadi anggota, dan mereka diminta iuran untuk membeli pemancar yang disepakati. Namun ternyata uang iuranpun tidak cukup untuk membeli peralatan siaran, sehingga Sarsito kemudian menghadap Mangkunegoro VII untuk menyampaikan permasalahan ini. Gayung bersambut, Mangkunegoro VII memberikan bantuan dana, sehingga uang untuk membeli pemancar seharga 1500 gulden tercukupi. Ternyata bukan masalah uang saja, negosiasi dan proses pengadaan pemancar ini memerlukan waktu yang lama, sekitar 9 bulan. Akhirnya, 5 Januari 1934, pemancar baru pun datang, dan sebagai stasiun sementara, mereka memanfaatkan Pendopo Kepatihan Mangkunegaran. Sore harinya, peralatan baru ini langsung digunakan, dan siarannya dapat diterima baik dari negeri Belanda, terbukti dengan adanya telegram yang dikirim dari Belanda.

Siaran budaya menjadi acara utama dari SRV, bukan hanya musik dan lagu tradisional nusantara, tapi juga wayang kulit, ketoprak, dan siaran untuk anak-anak setiap sore. SRV pun semakin dikenal luas sebagai pelopor atau perintis jaringan penyiaran Radio Ketimuran di Indonesia. Guna memaksimalkan kualitas siaran SRV, Mangkunegoro VII kemudian menghibahkan tanah di Kestalan (sekarang stasiun RRI Surakarta) untuk dibangun menjadi studio SRV. Gedung SRV ini merupakan bangunan studio pertama yang sengaja dibangun untuk sebuah stasiun penyiaran radio di Indonesia.

Mangkunegoro VII telah menjalankan peran yang sangat penting dalam merintis penyiaran radio di Indonesia, meskipun hanya berperan di balik layar, dan tidak pernah ingin muncul ke permukaan, namun pengaruh kekuasaannya dan kepemilikan modal yang memungkinkan semuanya bisa terwujud. Perannya sangat menentukan, ketika mendirikan PK2MN, memerintahkan pendirian SRV, menjadi penyumbang dana dalam pembelian pemancar SRV, dan memberikan lahan seluas 5000 m­2 untuk pembangunan gedung stasiun SRV di Kestalan. Tidak heran jika sejak Deklarasi Harsiarnas tahun 2009 nama Mangkoenegoro VII selalu diusulkan untuk ditetapkan sebagai Bapak Penyiaran Indonesia atas perannya merintis jaringan penyiaran Radio Ketimuran. Meski dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Hari Penyiaran Nasional belum menetapkan Mangkoenegoro VII sebagai Bapak Penyiaran Indonesia, namun jejak catatan sejarah telah menunjukkan jasa-jasa beliau sebagai tokoh perintis penyiaran nasional. (Andi Prabowo)