“ Peran Ibu Membentuk Karakter Bangsa “

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, melewati rintangan demi aku anakmu,..

ibuku sayang masih terus berjalan walau tapak kaki penuh darah penuh nanah….. “

Bait lagu yang populer pada era delapan puluhan dinyanyikan Iwan Fals terasa begitu menyentuh. Kita  juga mungkin sudah tak asing lagi  dengan ungkapan:  Dibalik keberhasilan keberhasilan seorang suami (ayah) terdapat sosok istri (ibu) yang luar biasa. Begitu juga dengan ungkapan wanita adalah  tiang negara jika wanitanya rusak maka rusak pula negaranya.

Ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah SAW  seraya berkata: “Wahai Rasulullah SAW,   siapa orang yang paling pantas aku berbuat baik padanya ?”. Rasulullah SAW berkata: “ Ibumu “. Lelaki itu bertanya kembali. Lalu siapa ? Rasulullah SAW  menjawab: “Ibumu ”. Lalu siapa ? “Ibumu ”.  Lalu siapa ? “ Baru ayahmu “. (HR. Bukhari – Muslim)

Sumber gambar : http://ranggawahyudiarta.files.wordpress.com
Sumber gambar : http://ranggawahyudiarta.files.wordpress.com

Ungkapan diatas menyiratkan  betapa sentralnya peran perempuan ”Ibu” yang secara kodrati dikarunia sifat kasih sayang. Peran ibu dalam membina kehidupan keluarga yang harmonis menjadi dambaan, lebih-lebih lagi dalam pembentukan kepribadian..

Yang menjadi pertanyaan masihkah peran tersebut relevan dengan kondisi terkini, ketika ibu tidak lagi sekedar mengurus anak, mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja dan berkarir disegala bidang bahkan sampai merambah pekerjaan yang sebelum ini di identikkan untuk kaum lelaki.?

Kongres Perserikatan Perempuan Indonesia yang pertama diselenggarakan tanggal 22 Desember 1928 dan sekaligus menghargai perjuangan panjang kaum perempuan Indonesia, yang bersama-sama kaum laki-laki merebut kemerdekaan mewujudkan Negara Kesatuan Pepublik Indonesia. Kemudian melalui Keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959, tanggal 22 Desember  dinyatakan sebagai Hari Ibu.

Ibu pastilah wanita, walau wanita belum tentu seorang ibu. Era globalisasi turut menyumbang perubahan pola pikir para wanita, yang sebelumnya berkonsentrasi penuh mengurus segala kebutuhan rumah tangga menjadi semakin terbuka untuk beremansipasi dalam dunia karir dan pekerjaan.

Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) telah membuka kesempatan yang luas kaum wanita berkiprah di dunia luar , dan tidak hanya berkutat melakukan peran konvensionalnya sebagai ibu rumah tangga.

Penyetaraan gender dan emansipasi berhasil menempatkan perempuan di berbagai sektor baik swasta maupun pemerintahan. Dulu tanggung jawab untuk mencukupi segala kebutuhan adalah kewajiban ayah (suami). Mulanya para ibu (istri) hanya sekedar membantu, namun kemudian itu peran ibu menjadi lebih dominan seiring dengan peningkatan prestasi, karier pekerjaannya memperoleh posisi/ jabatan tinggi ditempat kerjanya dan secara finansial memperoleh kesejahteraan lebih baik pula,

Peran ibu berkaitan dengan kegiatannya yang semakin berjibun diluar sana, menjadi minimalis. Padahal sebagus apapun kualitas pertemuan antara anggota keluarga mesti dibarengi dengan keberadaan ibu secara intens ditengah-tengah keluarga. Kehadiran sosok ibu ditengah keluarga secara fisik  dalam pandangan psikologi keluarga berdampak psikologis dan sangat penting.

Semakin banyak kaum ibu yang bekerja semakin rentan persoalan keluarga mencuat. Sejumlah temuan sosial yang juga acapkali dimuat media massa menemukan bahwa ketidakberadaan sosok ibu yang menyejukkan di saat diperlukan anggota keluarga membuat perilaku anak-anak menjadi kurang terarah. Pola pembinaan keluarga di rumah yang kurang efektif akan berkorelasi signifikan terhadap perilaku menyimpang anak, alhasil perilaku negatif muncul dan masuk dalam kategori anak bermasalah.

Kuantitas/ Kualitas pertemuan, interaksi orang tua terutama ibu dengan anaknya dirumah patut dipertanyakan, perilaku negatif para pelajar yang terjadi  belakangan ini membuat kita prihatin: Tawuran, perbuatan kriminal, dan berbagai wujud kekerasan (tabiat buruk) lainnya cenderung meningkat.

Kebanyakan remaja belasan tahun pelaku kriminalitas berasal dari keluarga “kacau balau” atau situasi rumah tangga yang tak terurus. Mereka adalah korban dari ketidakharmonisan dirumah tangga (broken home), kecenderungan ini meningkat dan salah satunya kejadian pemerkosaan di angkot beberapa waktu lalu diberitakan bahwa pelaku tidak memperoleh pengasuhan keluarga sebagaimana mestinya. Kecenderungan kriminalitas dan kekerasan yang meningkat sekarang ini disebabkan kurangnya kasih sayang keluarga/ orang tua khususnya  ibu..

Mencermati dekadensi moral yang semakin runyam kiranya kesetaraan gender  yang acapkali dituntut para aktivis HAM itu perlu dimaknai secara tepat agar tidak terjadi ekses yang tidak diharapkan. Keadilan dan kesetaraan bukanlah berarti memberikan sesuatu dengan bagian yang sama porsinya, misalnya apa yang dikerjakan lelaki tidak mesti harus bisa dilakukan wanita. Hal ini kita sadari karena perempuan memiliki kodrati yang khas dan unik yang tidak dimiliki lawan jenisnya.

Kampanye perempuan kembali ke keluarga harus dimaknai sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hubungan antara anak dan ibu yang pada gilirannya berguna bagi pembentukan karakter bangsa.

Peran domestik wanita teraplikasi di internal keluarga sebagai sosok istri dan seorang ibu yang melakukan peran untuk tugas-tugas tak tergantikan yakni terkait dengan fungsi reproduksi, dari mulai mengandung, melahirkan, hingga menyusui, termasuk masalah  pendidikan .

Terbukanya akses wanita untuk berkiprah diranah publik bukan berarti peran domestiknya menjadi hilang. Ibu harus mampu menyeimbangkan kedua peran tersebut, mengelola manajemen waktu dan manajemen kegiatannya dengan baik, termasuk dalam memilih prioritas kegiatan secara seksama. Ketika seorang ibu melakukan aktifitas publiknya, ia harus memastikan bahwa semua urusan peran domestiknya telah tuntas.

Emansipasi wanita tidaklah sama dengan konsep women liberation atau gerakan-gerakan feminis yang bermunculan di Barat, menuntut persamaan dalam segala hal dengan kaum lelaki, yang berdampak pada keruntuhan institusi keluarga akibat terbengkalainya semua urusan-urusan rumah tangga karena kelalaian seorang istri.

Kedua peran baik domestik maupun publik harus dijalani dengan baik sehingga keberadaan ibu mampu memberikan sebuah kontribusi untuk membangun mental dan karakter bangsa melalui perannya tersebut. Dalam setiap sosok ibu diharapkan menjadi pelita yang menerangi keluarga, masyarakat, negara, dengan  kemampuan dan kecerdasan dan segala potensinya.