Sejarah perjuangan budaya kerap kali dilupakan oleh bangsa Indonesia. Nama-nama pahlawan yang kita kenal ialah mereka yang mengangkat senjata maupun mereka yang bergelut di bidang politik. Memang sudah semestinya perjuangan mereka kita hormati, namun bukan berarti mengesampingkan bentuk perjuangan lainnya. Melihat buku sejarah perjuangan budaya sering kali menempati bagian akhir dan dibahas sekilas saja. Maka dari itu, kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai perjuangan budaya melalui penyiaran radio, khususnya sejarah awal penyiaran di Indonesia.

Narasi sejarah penyiaran Indonesia seringkali menggambarkan bahwa Penyiaran Radio Indonesia merupakan pemberian pemerintahan yang berkuasa sebelumnya, seolah-olah penyiaran Indonesia hanya sebatas berpindah tangan dari Hindia Belanda, lalu Jepang hingga akhirnya menjadi milik Indonesia. Namun, sebenarnya Indonesia sudah memiliki stasiun penyiaran yang didirikan oleh Sri Mangkunegoro VII di Solo pada tanggal 1 April 1933, bernama Solosche Radio Vereeniging (SRV).

Pendahulu dari SRV ialah PK2MN 1930.  PK2MN sendiri merujuk pada kode PK2 adalah kode radio amatir daerah Jawa Tengah dan MN merupakan singkatan dari pemiliknya Mangkunegoro VII. Karakteristik PK2MN adalah siaran kebudayaan/kesenian yang mana diturunkan pula kepada SRV, tidak hanya itu SRV juga turut menyajikan siaran anak-anak pada sore hari. Siaran kebanyakan dilakukan secara langsung, hal ini dikarenakan piringan hitan (PH) yang tidak dapat mengakomodasi kesenian Jawa. Musik gamelan atau klenengan yang paling pendek berkisar 30 menit, sedangkan PH hanya dapat merekam 3 menitan saja. Perbedaan dari kedua radio ini ialah PK2MN berfokus pada budaya Jawa sedangkan SRV lebih luas yaitu budaya Ketimuran.

Pada awal penyiaran SRV masih menggunakan peralatan penyiaran seadanya, pemerintah Hindia Belanda yang kala itu juga tengah menyiapkan NIROM diduga menjadi alasan sulitnya SRV memperoleh pemancar dari Perusahaan Telpon dan Telegraph Pemerintah Hindia Belanda (PTT). SRV memang cenderung bersikap kooperatif terhadap Pemerintah Hindia Belanda, hingga muncul anggapan bahwa SRV merupakan cabang dari NIROM yang berfokus pada siaran Ketimuran. Anggapan ini tentu saja salah, SRV merupakan radio Nusantara yang tidak ragu bekerjasama dengan Hindia Belanda demi kemajuan penyiaran Nusantara.

Pendengar SRV pada tahun 1940-an pun telah mencakup daerah di luar pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.  Berbagai lika-liku tentunya dihadapi oleh SRV hingga dapat bekembang sebesar ini. Kemudian, mulai didirikan cabang di luar Kota Solo seiring dengan perkembangan ini. Beberapa diantaranya adalah: VORO Jakarta (Vereeniging voor Oostersche Radio Oemroep), VORL Bandung (Vereeniging Ooestersche Radio Luisteraars), VORS (Vereeniging Oesterse Radio Surabaya) dan CIRVO (Chinnese Inhemse Radio-Luisteraars Vereeniging Oost) Surabaya, dan Radio Semarang, MARVO Yogyakarta (Mataramsche Vereeniging voor Radio Oemroep).

Di awal era kemerdekaan Indonesia, perjuangan insan penyiaran berhasil menyuarakan berita kemerdekaan ke seluruh Indonesia meski tidak secara langsung, dengan teks Proklamasi yang dibacakan oleh para penyiar. Di saat gejolak politik dan militer pekat membayangi kemerdekaan, perjuangan budaya terpaksa dikesampingkan demi menyatukan nusantara. Para insan radio tetap berjuang, menuju Jakarta membawa kekhawatiran terkait kelanjutan penyiaran Indonesia. Tidak dapat menemui Presiden Soekarno, kemudian rombongan ini menuju studio Jakarta dan mengadakan rapat.

Ketika Maladi yang merupakan ketua dari rombongan tersebut tiba-tiba dipanggil oleh Kepala Bagian Umum Hosokanrykyoku Okonogi, rombongan pun berdebar-debar menantikan kabar Maladi. Akhirnya mereka dapat menghela nafas ketika Maladi justru diundang ke rumah Okonogi untuk berdiskusi. Kali ini rombongan yang dipimpin oleh Abdulrachman Saleh bergegas menuju Pejambon untuk diskusi dengan pemerintah. Rombongan diterima oleh Sekretaris Negara A.G. Pringgodigdo, Menteri Luar Negeri Mr Subardjo, Menteri Dalam Negeri Iwa Kusuma Sumantri, dan Menteri Keamanan RI Mr Gatot. Dalam diskusi ini aktivis radio dan Pemerintah tidak berada dalam halaman yang sama. Pemerintah meyakinkan kalo semuanya akan baik-baik saja sedangkan kalangan radio berpendapat sebaliknya.

Setelah diskusi tersebut, rombongan radio kemudian mengarah ke rumah Okonogi. Okonogi menyampaikan bahwa semua data aset Jepang termasuk peralatan Hosokanrykyoku tidak dapat diserahkan ke Indonesia karena telah diserahkan kepada sekutu di Singapura.

Rombongan kembali bergerak pergi ke rumah Adang Kadarusman. Rapat diselenggarakan dan dipimpin oleh Abdulrachman Saleh. Dimulai pukul 24.00 dan berlangsung hingga pukul 06.00 rapat ini menghasilkan keputusan yaitu:

  1. Mendirikan organisasi Radio Republik Indonesia
  2. Tanggal 11 September sebagai hari lahir RRI
  3. Jakarta sebagai pusat kegiatan RRI dan Abdulrachman Saleh sebagai Kepala RRI.

Bangsa Indonesia sudah mampu menjalankan dunia penyiarannya sendiri sejak awal. Bahkan ketika masih belum merdeka sekalipun. Melalui perjuangan penyiaran ini dapat kita simpulkan bahwa Indonesia telah mampu menguasi teknologi modern pada masa itu dan tetap menjunjung nilai budaya ketimuran, dapat dilihat dari populernya siaran Radio Ketimuran dibandingkan radio milik Belanda dan Jepang.

Akhir dari perjalanan Radio Ketimuran tanpa adanya perpisahan. Radio Ketimuran berakhir begitu saja, dicampakan Jepang dan dirusak Belanda. Namun, jejak yang ditanamkan di bumi nusantara tetap membekas meskipun namanya hampir terlupakan. (Angel) Sumber: Wiryawan, Hari. 2011. Mangkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia. Solo: Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta

Sumber: Wiryawan, Hari. 2011. Mangkunegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia. Solo: Lembaga Pers dan Penyiaran Surakarta