Setiap tanggal 21 April, bangsa kita memperingati Hari Kartini, hari yang akan selalu diingat khususnya oleh kaum wanita di Indonesia. Tanggal ini merupakan hari kelahiran RA. Kartini, seorang tokoh pejuang emansipasi atau persamaan hak antara perempuan dan laki-laki di Indonesia. Kartini adalah puteri Bupati Jepara RM. Adipati Ario Sosroningrat, dia termasuk wanita bumiputera pertama yang mendapatkan pendidikan modern (barat) yang sebelumnya hanya kaum laki-laki saja yang boleh mendapatkannya. Sang ayah sendiri sangat peduli pada pendidikan putera-puterinya, sedangkan sang kakek, RM Ario Tjondrodiningrat, adalah bupati pertama yang memberikan pendidikan barat pada anak-anaknya. Semasa hidupnya, Kartini sering menuliskan gagasan-gagasan dan pengalamannya dan mengirimkannya ke kawan-kawannya di Belanda.

Lalu siapakah yang menjadi inspirator dari Kartini, sehingga dia menjadi tokoh yang berusaha memperjuangkan hak kaumnya melalui tulisan-tulisannya? Selain kakek dan ayahnya, RM. Panji Sosrokartono, yang notabene adalah kakak kandung dari Kartini, adalah tokoh yang menjadi idola dan menginspirasi Kartini, terutama dalam hal menuliskan setiap pengalaman dan gagasannya tentang kesetaraan hak.

Gb. Sosok RM. Panji Sosrokartono Sosrokartono (sumber historia.id).

Sosrokartono lahir 10 April 1877 di Mayong, Jepara, sejak kecil, kecakapannya sudah mulai tampak, dia sangat tertarik belajar bermacam-macam bahasa, jadi tidak heran, kelak dia akan menguasai 35 bahasa dari berbagai negara dan daerah. Sosrokartono menempuh pendidikan di Eurepesche Lagere School (ELS), kemudian melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Semarang. Karena kecerdasannya, Ir. Heyning menyarankan dia bersekolah di Polytechnische School te Delft, harapannya, jika kelak lulus dia akan bisa mengatasi krisis air yang diperkirakan akan melanda Jepara, saran ini juga didukung oleh sang ayah, RM. Adipati Ario Sosroningrat. Namun karena merasa tidak cocok, Sosrokartono pun keluar, dan akhirnya memilih jurusan Bahasa dan Kesusastraan Timur di Universitas Leiden, dan memperoleh gelar sarjana pada 1908. Selama menempuh pendididikan baik di tanah air maupun di Belanda, Sosrokartono telah banyak menulis, inilah yang menginspirasi Kartini, sehingga dia juga gemar menuliskan setiap gagasan dan pengalamannya.

Lulus dari Leiden, Sosrokartono masih belum ingin pulang, dia masih ingin menimba pengalaman di Eropa, waktu itu di tanah air sedang tumbuh semangat kebangkitan nasional, yang ditandai dengan lahirnya Budi Utomo. Di Belanda, dia ikut mempelopori berdirinya Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia, sebuah organisasi pelajar asal Indonesia di negeri kincir angin ini, organisasi ini banyak memperjuangkan nasib dan persamaan hak dari pelajar dan mahasiswa dari negara koloni.

Ketika pecah Perang Dunia I, Sosrokartono mendaftar dan diterima menjadi koresponden perang di koran The New York Herald Tribune di Kota Wina Austria. Dia di tempatkan di pasukan sekutu, dan bahkan diberikan pangkat mayor, agar lebih mudah keluar masuk garis depan medan pertempuran. Salah satu liputannya adalah perundingan rahasia antara Perancis dan Jerman di sebuah gerbong kereta api, di hutan Champaigne, Prancis Selatan. Sangat rahasia, sehingga wartawan pun dilarang mendekati daerah lokasi perundingan ini dilaksanakan. Ketika banyak media masih berusaha mencari lokasinya, The New York Herald Tribune  telah memberitakannya, dan Sosrokartono adalah wartawan yang meliputnya, dia berhasil masuk ke daerah perundingan, karena statusnya sebagai tentara sekutu.

Tahun 1919, ketika didirikan League of Nations (Liga Bangsa – Bangsa), yang diprakarsai oleh Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, Sosrokartono menjadi kepala penerjemah, terpilih karena waktu itu dia sudah menguasi 24 bahasa dan mengalahkan ahli bahasa dari seluruh dunia, jabatan ini diembannya  selama dua tahun (1919 – 1921), dia berhenti ketika League of Nations berubah menjadi United Nations Organizations (Perserikatan Bangsa Bangsa).

Sosrokartono sempat terpilih menjadi Atase Kebudayaan di Kedutaan Prancis di Belanda, ketika bertugas di sini, tampak bahwa dia bukan hanya memiliki kemampuan di bidang bahasa, tetapi juga pengobatan alternatif. Saat itu anak sahabatnya yang berusia 12 tahun, menderita sakit, dan telah diobati beberapa dokter, sayangnya tidak kunjung sembuh. Tergeraklah hati Sosrokartono untuk membantunya, hanya berbekal air putih yang sudah dia doakan, dia meminta anak itu meminum air putih tersebut, dan tidak berapa lama, anak tersebut sembuh, dan membuat banyak orang takjub dan terheran-heran, bahkan ada yang menjulukinya “dokter air putih”.

Seorang ahli mengatakan Sosrokartono memiliki kemampuan magnetisme personal yang kuat, sehingga tanpa disadari, dia bisa menyembuhkan orang lain. Pernyataan ini membuat dia menghentikan pekerjaannya, dan ingin fokus untuk belajar Psychometrie dan Psychotecniek di sebuah kampus di Kota Paris. Sayangnya, perlakuan yang dia dapatkan berbeda, karena kampus ini ternyata hanya untuk lulusan dokter saja, sedangkan dia lulusan bahasa dan sastra, karena kecewa ini, akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Sesampainya di tanah air, ternyata lebih banyak kekecewaan yang dia dapatkan, Sosrokartono dibenci oleh banyak pejabat Belanda, dia dicap sebagai ancaman bahkan komunis. Sempat mendapatkan pekerjaan sebagai guru di Taman Siswa, namun hanya beberapa tahun saja. Dia keluar karena banyak orang tidak bersalah kena akibat dari masalahnya dengan para penguasa kolonial. Kondisinya makin parah, ketika dia terlilit hutang yang besar pada Hurgronje, membuat Sosrokartono makin tidak bisa berbuat banyak di negeri sendiri. Sungguh bertolak belakang dengan kehidupannya ketika berada di Eropa yang bergaji besar dan bergelimang harta. Karena tekanan yang bertubi-tubi ini, akhirnya pada 1942, tahun ketika Jepang menaklukan Belanda di Indonesia, Sosrokartono jatuh sakit hingga lumpuh, dalam kondisi seperti ini, dia masih menjadi penasehat spiritual bagi Soekarno, Sang Proklamator bahkan menyebut Sosrokartono  sebagai sutradara dibalik peristiwa proklamasi. Dan setelah proklamasi, dia sempat mendirikan balai pengobatan Dar Oes Salam, dan hingga akhir hidupnya, dia mengabdikan diri untuk kegiatan sosial ini.

Sosrokartono, Si Jenius dari Timur, meninggal pada 8 Februari 1952, dan dimakamkan di Sidomukti, Kaliputu, Kudus. Tidak banyak yang tahu kiprahnya di dunia jurnalistik, tetapi dialah wartawan perang pertama dari Indonesia dan poliglot (ahli bahasa) yang diakui oleh dunia internasional pada zamannya. (Andi Prabowo)