Bagi yang pernah berkunjung ke Monumen Pers Nasional Surakarta mungkin saja terdapat secercah tanya, apakah koleksi utama dari Museum ini? Dan mengapa ini menjadi koleksi utama? Berikut ulasan tentang sejarah dibalik Koleksi Utama Monpers yang dikenal dengan nama Pemancar Radio Kambing.

Foto 1 Pengunjung sedang melihat koleksi Pemancar Radio Kambing menggunakan fasilitas AR tab

Sekilas Sejarah Organisasi Pemancar Radio di Surakarta

Pada tahun 1925 beliau Mangkoenegoro VII, penggagas berdirinya Societeit Mangkoenegaran (sekarang Monumen Pers Nasional), mewujudkan upaya pelestarian kesenian tradisional melalui teknologi penyiaran radio. Penguasa Pura Mangkoenegaran (1916-1944) tersebut memang dikenal multitalenta dengan predikat sebagai raja yang modern dan nasionalis, sekaligus sastrawan, seniman, serta budayawan intelektual. Tak heran jika beliau banyak mengeluarkan gagasan modern dalam kebijakannya terkait kesenian dan kebudayaan tradisional.

Awalnya Mangkoenegoro VII membina perkumpulan kesenian Jawa bernama Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkunegaran. Kegiatan utama perkumpulan ini adalah bidang seni karawitan, yakni memainkan alat musik (gamelan) serta melantunkan gendhing-gendhing (nyanyian) Jawa, atau lebih populer dengan sebutan Klenengan. Semua itu dilakukan di lingkungan istana Mangkunegaran.

Setelah menerima pemancar radio tua pemberian Mangkoenegoro VII, perkumpulan Javansche Kuntskring Mardiraras kemudian menyiarkan klenengan (gending-gending Jawa) dan lakon wayang melalui siaran radio menggunakan call sign PK2MN atau yang dikenal masyarakat sebagai Pemancar Kring Ketimuran Mangkunegaran.

Berjalan nya waktu, pemancar tersebut tidak dipergunakan lagi karna sudah rusak dan kualitas audio nya tidak maksimal. Setelah dianalisa oleh RM Ir. Sarsito Mangunkusumo beliau berpendapat bahwa meskipun dilakukan perbaikan, peralatan itu tetap tidak akan berfungsi maksimal.  Biaya yang dikeluarkan juga tidak akan sebanding dengan hasil yang diperoleh. Oleh karena itu diputuskan untuk membeli peralatan yang baru. Akan tetapi, agar tercukupi dana pembelian peralatan baru, RM Sarsito mengusulkan untuk melibatkan pihak diluar perkumpulan Javansche Kuntskring Mardiraras.

Usulan RM Sarsito diterima oleh perkumpulan, dan pada hari Jumat, 1 April 1933 bertempat di gedung Societeit Mangkoenegaran yang dihadiri oleh 9 orang tersebut berhasil menyepakati berdirinya Perhimpunan Radio Ketimuran yang diberi nama Solosche Radio Vereeniging (SRV), artinya Perkumpulan Radio Solo.

SRV menjadi saksi sejarah dunia penyiaran dan perjuangan

Dengan menggunakan pemancar yang baru, siaran perdana SRV di Pendopo Kepatihan Mangkunegaran berupa klenengan yang disajikan oleh Javansche Kuntskring Mardiraras dipancarkan hingga ke Belanda. Menurut telegram dari Belanda, siaran dapat diterima dengan baik serta dapat didengar di Eropa. Sejak saat itu SRV mengalami perkembangan yang sangat pesat dan anggota nya terus bertambah.

Setelah berhasil “menguasai angkasa” Solo dan sekitarnya dengan siaran seni budaya Jawa, SRV memperluas jangkauan siaran dengan mendirikan cabang di kota lain. Cabang pertama yang dibuka adalah Jakarta pada tanggal 8 April 1934, yakni SRV Kring cabang Betawi. Pada 30 April 1934 disusul pembentukan SRV Kring Bandung. Setelah itu disusul pula pembentukan SRV cabang Surabaya, serta pada tahun 1936 SRV Kring Madiun dibentuk dengan sebutan EMRO (Eerste Madiunsche Radio Omreop). Di kota Semarang SRV Kring berfungsi sebagai stasiun relay untuk wilayah Semarang, sampai pada akhirnya menjadi Radio Semarang pada tahun 1936. Adapun cabang terakhir yang didirikan SRV berada di Bogor.

Pada tanggal 15 Januari 1935 SRV mengadakan konggres di Solo. Salah satu keputusan penting nya adalah SRV harus memiliki gedung studio sendiri yang memadai untuk keperluan penyelenggaraan penyiaran. Untuk keperluan pembangunan gedung studio ini, Mangkoenegoro VII menghibahkan tanah seluas 5.000 meter persegi, terletak di kampung Kestalan atau sebelah selatan stasiun kereta api Balapan Solo.

Setelah menempati gedung studio yang baru dan megah, para pengurus SRV kian semangat dalam mengelola siaran. Hal ini berdampak terhadap perkembangan seni budaya yang hidup di tengah masyarakat.

Siaran radio yang sudah berjalan bertahun – tahun terpaksa berhenti sebentar dan mengalami hambatan karena kedatangan penjajah Jepang. Sebelum Jepang masuk lewat Gundi menerobos Kalijambe, Kalioso, kemudian kota Solo (Maret 1942), Belanda sudah memberi perintah untuk merusak obyek-obyek penting, termasuk pemancar radio SRV. Karena kecerdikan Oetoyo dan Soegoto, berhasil menyelamatkan mesin pemancar. Alasannya memang sudah dirusak, tetapi sebenarnya hanya dilepas meteran dan alat-alat kecil lainnya. Mungkin Belanda terlalu terburu-buru sehingga tidak meneliti lagi.

Tiga hari setelah sampai di Solo, komandan pasukan Jepang H. Funabiki mendatangi studio SRV. Di studio itu Funabiki bertemu dengan R. Maladi. Ia memerintahkan untuk menghidupkan kembali pemancar dan melakukan siaran. Maladi dan kawan-kawan menyanggupi permintaan Funabiki, sehingga dalam beberapa hari SRV sudah kembali mengudara.

Untuk mempermudah pengorganisasian dan pengendalian radio siaran, Jepang membentuk Hosyo Kanry Kyoku (HKK) di tingkat pusat (Jakarta) dengan cabang-cabang nya di kota Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surakarta (Solo), Surabaya, Purwokerto dan Malang. Hosyo Kanry Kyoku membentuk badan pengawas radio di setiap kota kabupaten yang disebut Shidanso dan bertugas mempersatukan seluruh bengkel reparasi radio setempat. Semua perbaikan dan pemeriksaan pesawat radio penerima milik masyarakat dilakukan di satu tempat dan langsung diawasi secara ketat oleh seksi propaganda pemerintah militer Jepang. Selain itu Shidanso juga melakukan penyegelan terhadap gelombang/frekuensi siaran radio luar negeri dan membangun radio untuk umum di tempat-tempat pusat keramaian orang. Dengan peraturan tersebut, seluruh pemilik pesawat radio penerima hanya mendengarkan siaran yang dipancarkan oleh HKK.

Dapat disimpulkan bahwa era pemerintahan militer Jepang, radio dijadikan alat propaganda sekaligus pengendalian massa. Kesadaran publik dikendalikan dan di kontrol untuk membentuk opini tunggal. Berjalannya waktu, dengan diperolehnya informasi tentang kekalahan Jepang dalam menghadapi Sekutu, maka orang-orang Indonesia yang bekerja di HKK secara diam-diam melakukan konsolidasi untuk mengantisipasi jikalau Jepang segera meninggalkan Indonesia.

Oleh karena itu, ketika Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia (RI), penyiar HKK di Jakarta segera menyebarluaskan peristiwa monumental tersebut. Setelah merdeka, penyempurnaan Radio Indonesia kemudian resmi dibentuk pada tanggal 11 September 1945 yang ditetapkan sebagai hari lahirnya RRI.

Perjuangan Radio Indonesia tidak berakhir sampai disitu, namun juga ikut perjuangan fisik sampai ke wilayah pegunungan. Hal tersebut terjadi ketika Belanda kembali ingin merebut Indonesia pada Agresi Militer Belanda. Setelah Pemancar Radio PTP Goni di Delanggu dibom oleh Belanda, Bapak R. Maladi memerintahkan untuk memindahkan pemancar radio nya.

Pemancar radio yang memiliki kekuatan 1 kilowatt tersebut diangkut dengan truk Chevrolet tua, di usung menuju Tawangmangu – Karanganyar. Di desa Punthukrejo, pemancar terpaksa di simpan dan ditutupi dedaunan karena truk pengangkut tidak dapat melanjutkan perjalanan. Akhirnya dipilih lokasi yang tepat yaitu di desa Balong, Kecamatan Jenawi, Karanganyar. Perjalanan menuju desa Balong membutuhkan waktu 4 hari karena proses pemindahan hanya dapat dilakukan malam hari.

Di desa Balong tersebut akhirnya RRI dapat melanjutkan siaran, meski terkadang disela-sela siaran terdengar suara kambing mengembik karena pemancar disembunyikan di rumah penduduk yang berdekatan dengan kandang kambing. Sebagian masyarakat kemudian menyebut pemancar ini Pemancar Radio RRI Kambing dan sebagian lainnya memberi nama Kyai Balong.

Setelah berakhirnya Agresi Militer Belanda, pemancar tersebut dibawa kembali ke Solo dan disimpan di gedung Societeit Mangkoenegaran yang saat ini digunakan oleh Monumen Pers Nasional. Perjalanan panjang sebuah pemancar tersebut, lika-liku dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui jalur berita yang langsung dapat diterima oleh masyarakat luas. Untuk itulah pemancar siaran radio bersejarah ini menjadi Koleksi Utama bagi Monumen Pers Nasional Surakarta.

Koleksi pemancar radio kambing tersebut, saat ini dipamerkan di Ruang Pamer Balai Budaya Monumen Pers Nasional Surakarta yang telah dilengkapi dengan teknologi AR tab agar pengunjung dapat melihat simulasi siaran radio dengan suara kambing yang mengembik, menggambarkan situasi pada saat itu. (Eka Budiati)