Sumber gambar: http://2.bp.blogspot.com

Ada kesamaan peringatan HUT RI tahun ini dengan suasana ketika negeri ini mengumandangkan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yaitu nuansa sama-sama berada dibulan suci Ramadhan saat umat muslim menunaikan ibadah puasa.

Sepenggal dialog Bung Karno dengan para pemuda ketika mereka mendesak agar segera memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia

Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 “. ” Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni.

Saya seorang yang percaya pada mistik”. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “.(dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).

Tarik ulur antara desakan pemuda dan perhitungan Bung Karno terasa begitu mencekam, pemuda dengan semangat yang tinggi dan Bung karno sebagai politikus yang sarat dengan pengalaman dan penuh perhitungan, karena keputusan yang diambil, bukan semata untuk kepentingan pribadi atau kelompok namun keputusan yang akan menentukan nasib seluruh rakyat Indonesia kedepan yang tidak bisa dibuat karena desakan. Bung Karno menggabungkan antara intuisi, perhitungan yang matang situasi dan kondisi.

Momentum saat ini tepat rasanya bila kita merenung sejenak untuk flashback mengurai kembali perjalanan panjang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Berbagai peristiwa terjadi dinegeri ini memberi warna pejalanan NKRI yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia lepas dari kemiskinan dan kebodohan.

Proses yang tidak selalu berlangsung mulus, pasca kemerdekaan, Bung Karno bermimpi Indonesia akan menjadi mercusuar dunia, menjadi negara maju dan diperhitungkan dunia, kemerdekaan adalah jembatan emas bagi masyarakat bangsa Indonesia, di seberangnya masyarakat bangsa ini akan hidup sejahtera dan makmur,

Pada masa era orde baru, program yang disusun secara bertahap dengan GBHN, Pelita, Indonesia diprediksi bakal menjadi kekuatan ekonomi dan macan Asia setelah mampu menjadi negara berswasembada pangan.

Pada masa reformasi tidak adanya visi dan misi yang jelas dengan dominannya kekuasaan legislatif membuat pemerintah tidak leluasa untuk membuat program jangka panjangnya tanpa terganggu oleh kepentingan politik sesaat.

Kemerdekaan sebenarnya juga berarti bebas dari belenggu-belenggu persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang tengah mendera. Kondisi bangsa kita saat ini. korupsi masih membelenggu bangsa sehingga pelayanan publik tidak maksimal dan kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan. Lunturnya etika publik para pejabat publik dan para politisi mengebiri bangsa ini, sehingga cita-cita menjadi bangsa yang beradab, berbudaya, dan beretika, terutama di kalangan para pengelola dan pengurus negara jauh panggang dari api. Lemahnya penegakan hukum membuat bangsa ini terbelenggu ketidakadilan, konflik-konflik horizontal, kekerasan oleh kelompok, etnis, agama tertentu, intoleransi, ketidakpedulian para elit politik dan pejabat publik membuat bangsa ini terperangkap dalam kemiskinan, pengangguran, dan keterpurukan, yang semuanya itu kalau tidak segera diantisipasi akan menyebabkan timbulnya ketidak percayaan yang berujung pada disintegrasi bangsa.

Euforia kebebasan berdemokrasi seolah membebaskan siapapun untuk menyalurkan aspirasinya lengkap dengan aktualisasi dirinya, sehingga tak disadari kadang justru menyebabkan terganggunya kebebasan orang lain yang juga mempunyai hak yang sama, ketika bertemu kedua pihak merasa dirinya benar dan saling ngotot mempertahankan pendapatnya yang pada akhirnya menimbulkan petentangan yang berujung pada anarkhisme. Musyawarah untuk mufakat seakan- akan hilang.

Kondisi seperti ini semakin diperparah oleh terpaan media yang juga mengalami euforia kebebasan pers, Pers mempunyai kebebasan mutlak dalam mencari berita mengumpulkan berita dan mempublikasikan berita dan tidak ada lagi lembaga yang mengontrol sehingga kebebasan seolah dimaknai bebas berbuat apa saja.

Perilaku pejabat negara, eksekutif, legislatif dan yudikatif yang merupakan pilar penyangga demokrasi semakin vulgar , tidak lagi malu melakukan penyelewengan, penyalahgunaan kekuasaan manipulasi, mark up dana bahkan bantuan bencana alam dan untuk kaum duafapun ditilap.

Banyak para pejabat diakhir masa jabatannya sudah ditunggu oleh pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya ketika sedang berkuasa.

Dari beberapa data diperoleh perilaku korupsi saat ini tidak hanya dilakukan oleh eksekutif, hampir semua lini melakukannya tidak peduli apakah orang itu buta hukum atau melek hukum, bahkan pelaku tersebut bukan karena ketidak tahuannya tapi justru karena kepintarannya. Pada masa lalu yang melakukan kekerasan sebagai penyelesaian masalah adalah mereka yang kurang berpendidkan , namun sekarang terjadi yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan justru wakil rakyat yang terhormat.

Korupsi sudah terjadi secara masif hampir di semua segi kehidupan, kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum juga terus menurun, menurut Busyro Muqaddas wakil ketua KPK: Telah terjadi krisis akhlak, kejujuran akuntabilitas, ketika negara dan ormas mengidap penyakit CDMA (Corruption merupakan Discressy plus Monopolistik minus Accountability) akan mudah melakukan praktik korupsi.(Suara Muhammadiyah,No.15 1-15 Agustus 2012).

Kalau kita mau mengambil pelajaran dari perjuangan pendiri negeri ini dari kondisi sebelum hingga terbentuknya republik ini pasti akan merasa malu hati melihat perjuangan mereka yang tanpa pamrih menegakkan negeri dengan cucuran keringat air mata dan darah, mengorbankan harta, benda bahkan nyawa, mereka sepakat untuk merdeka dengan kerelaan membelakangkan kepentingan pribadinya dengan mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan bersama. Ironisnya sebagai penikmat kemerdekaan kita justru lebih mendahuluikan ego kepentingan pribadi dengan mengabaikan bahkan melanggar hak orang lain.

Peringatan HUT ke 67, RI saat ini harus dapat kita jadikan sebagai spirit untuk bangkit dari keterpurukan, dengan memperbaharui niat untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bermartabat yang pada akhirnya akan menjadi komunitas masyarakat yang berkarakter, berkepribadian mulia mendorong Indonesia yang sejahtera dan bermartabat dimata dunia (Supardi, S.Sos).