Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan teknologi komunikasi menciptakan peluang sekaligus tantangan. Akses yang luas terhadap arus informasi yang tidak terbatas telah merubah pola-pola kehidupan masyarakat modern yang semakin hari semakin bergantung pada perangkat (gadget) teknologi. Kondisi ini tentu saja memunculkan respon baik dari pelaku usaha, pemerintah, organisasi kemasyarakatan, pendidik, maupun masyarakat umum. Semua pihak seakan tidak ingin tertinggal dalam memanfaatkan kesempatan yang ditawarkan oleh teknologi informasi, terutama dengan kehadiran internet yang menciptakan budaya partisipatoris. Sayangnya, selayaknya mata uang yang memiliki dua sisi, internet tidak hanya membawa akibat positif, tetapi juga negatif. Kenyataan inilah yang memunculkan sebuah fenomena baru yang dikenal dengan Cybercrime.

Kata ‘cyberspace’ itu sendiri sering dipertukarkan dengan istilah ‘internet’, dimana kedua kata ini bisa diaplikasikan untuk pengertian yang lebih luas yaitu mencakup semua lingkungan yang dibangun secara teknis dimana individu-individu merasakan pengalaman atas lokasi yang tidak dibatasi oleh ruang-ruang yang bersifat fisik. Berdasarkan definisi ini, semua medium yang melibatkan komunikasi antar manusia ke dalam ruang yang dimungkinkan terjadi secara elektronik bisa dimengerti sebagai bentuk dari ‘cyberspace’. Konsep virtual reality (realitas virtual) kemudian mengemuka sebagai sebuah konsep dan mendapatkan tempat dalam lingkungan digital. Kejahatan-kejahatan kemudian menemukan bentuk-bentuk dan pola-pola baru karena adanya perkembangan medium teknologi yang digunakan.

Masyarakat yang semakin aktif dalam meng-konsumsi media adalah sasaran yang potensial bagi tindak-tindak kriminalitas. Medium internet yang memiliki banyak fitur dan aplikasi memunculkan pola-pola komunikasi yang semakin inovatif. Situs jejaring sosial misalnya, diyakini sebagai sebuah bentuk revolusi komunikasi karena menciptakan ruang-ruang virtual bagi penggunanya untuk ber-ekspresi dan menciptakan sharing-culture, kesetaraan dan kebebasan berpendapat yang sangat esensial bagi kehidupan berdemokrasi. Kemunculan dan penggunaan Facebook di Indonesia sangat fenomenal, ditandai dengan pro dan kontra, terlebih ketika tindak kriminalitas, seperti penculikan, pemerkosaan dan pembunuhan terjadi sebagai akibat dari interaksi sosial yang terjadi di dunia maya yang dilakukan oleh pengguna internet tanpa mengetahui bahaya dan resiko yang mungkin ditimbulkan.

Di saat yang bersamaan, pengaplikasian internet dalam segala bidang seperti e-banking, e-commerce, e-government, e-education, ataupun e-library merupakan bentuk baru dari Computer-Mediated Communication yang berpeluang menciptakan computer crime yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan cybercrime. The U.S Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai: ”…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution”, dan pengertian lain juga diberikan oleh Organization of European Community Development, yaitu: ”any illegal, unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or the transmission of data”. Pada kenyataanya, ada begitu banyak keluhan-keluhan yang muncul di masyarakat mengenai terjadinya penipuan dalam transaksi keuangan, maupun penyesatan informasi yang berujung pada kerugian finansial maupun psikologis. Selain itu, banyak pula terjadi kasus kriminalitas seputar isu pornografi dan pornoaksi dimana ada begitu banyak foto ataupun video yang diunggah dan diunduh di internet karena lemahnya sistem sensor dan kontrol.

Maraknya cybercrime adalah ancaman yang harus segera mendapatkan respon, dimulai dari mengenali karakter, modus operandi, pelaku, tempat kejadian perkara dan siapa saja yang berpotensi untuk menjadi korban kejahatan. Harus dipahami bahwa kejahatan jenis ini tidak mengenal batas wilayah karena baik pelaku maupun korban tidak harus berada pada lokasi yang sama karena cukup dimungkinkan dengan adanya akses terhadap internet dan konektivitas antar pengguna teknologi komunikasi. Harus dipahami juga bahwa konvergensi media yang menjadi konsekuensi dari kemajuan teknologi komunikasi memang belum diikuti dengan produk perundang-undangan yang merespon perubahan karakter medium tersebut.

Dengan pertimbangan tersebut, maka seminar ini akan mendatangkan nara sumber yang berkompeten baik di bidang media dan komunikasi serta yang mampu memberikan perspektif dalam hal hukum dan pembuatan kebijakan. Berbagi ilmu, informasi dan pengalaman akan lebih bermakna jika dilakukan oleh berbagai pihak dengan latar belakang yang berbeda. Oleh karena itu, seminar ini juga akan lebih memfokuskan pada peserta yang berasal dari lingkungan pendidikan, mulai dari sekolah sampai tingkat universitas meskipun juga membuka kemungkinan bagi keikutsertaan masyarakat umum. Para peserta akan mendapatkan pemahaman yang komprehensif dan langkah-langkah strategis apa saja yang bisa dilakukan untuk menghindarkan diri dari ancaman cybercrime dalam segala bentuk mediumnya.

Topik dan Pembicara

1. “Kriminalitas di Dunia Cyber dan Regulasi di Indonesia”

  • Pembicara: Dr. Henry Subiakto (Staf ahli Menteri Kominfo bidang Komunikasi dan Media Massa Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dosen program studi Ilmu Komunikasi, Universitas Airlangga)

2. Cybercrime: Malfungsi Komunikasi dan Demokrasi?

  • Pembicara: Dr. Rachmah Ida (Dosen program studi Ilmu Komunikasi, Universitas Airlangga)

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Seminar ini diselenggarakan oleh Monumen Pers Nasional bekerja sama dengan Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Airlangga

  • Hari/tanggal : Kamis, 17 November 2011
  • Waktu : 08.30 WIB s/d selesai
  • Tempat : R. Lawu, lt. 2, hotel Sahid, Surabaya

Peserta (Undangan):

  • Sivitas akademika di Surabaya dan sekitarnya
  • Para pendidik, guru SMA di Surabaya
  • Lembaga Sosial Masyarakat atau Organisasi Masyarakat Sipil
  • Blogger dan aktivis dunia maya lainnya
  • Masyarakat umum