Dunia maya dikenal sebagai dunia tanpa batasan jarak, ruang, waktu dan sensor. Kita yang berada di Indonesia apabila ingin berkomunikasi dengan teman yang berada di belahan dunia lain dapat dengan mudah menjumpainya, hanya cukup meng “klik” mouse, maka kita akan segera terakses dengan berbagai informasi.
Menurut pengamat Media dari Solo, Mursito BM, seiring dengan perkembangan Teknologi Informasi (IT) maka tidak bisa dipungkiri semakin banyak informasi yang dapat diperoleh, baik yang diinginkan maupun yang tidak. Telah terjadi banjir informasi yang menyebabkan overload, sebagaimana bencana banjir yang menyebabkan tak ada air yang dapat diminum demikian juga dengan “banjir Informasi” membuat konsumen tidak dapat memilah informasi yang benar dan yang salah, yang dibutuhkan dan yang diacuhkan.
Salah satu situs yang paling radikal dan militan melakukan ekspansinya adalah pornografi, tidak hanya menjadi sekedar pemuas syahwat bagi penikmat bahkan telah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan bernilai trilyunan. Hukum ekonomi betul-betul dimanfaatkan secara jitu oleh pemilik situs semakin banyak permintaan, semakin banyak pilihan, semakin banyak pula yang ditawarkan.
Bila pada dekade tujuh puluh – delapan puluhan , akses pornografi diperoleh hanya melalui buku stensilan dan majalah Playboy, berikutnya cassete VHS, CD, DVD. dan pada dekade terakhir melalui Internet, hand phone.
Pornografi men”cekok”i, mata, hati, pikiran kita dengan berbagai isu yang tak terbatas, selalu merangsang rasa ingin tahu yang terus berkelanjutan dan tak pernah putus. Pornografi memberi makan pada “keinginan mata” dan “keinginan syahwat” yang tidak akan pernah terpuaskan. Pornografi membuat penontonnya semakin dahaga laksana musafir kehausan di padang pasir selalu makin haus. Ketika kita membuka sebuah situs maka situs yang lain mucul menawarkan diri minta diakses.
Pornografi melambungkan pikiran kita kedunia virtual – antah barantah yang membebaskan diri dari nilai dan etika, semua serba bisa, serba biasa. Dan lebih celaka lagi ketika seseorang telah berada dalam “jalur” yang benar dalam konteks pornografi tak bisa berpaling, sangat sulit berpindah jalur seolah tak ada lagi pintu untuk keluar, bahkan ketika ia sedang tidak mengaksespun yang ada dalam otaknya hanyalah tayangan yang selama ini ia nikmati.
Jerat pornografi membuat kehidupan menjadi limbung dan tak seimbang, karena proses ”penasaran” itu terus mendorong, menggoda, merangsang sehingga tidak peduli lagi dengan lingkungan sekitarnya. Kecanduan/ adiksi terhadap pornografi jelas sangat berbahaya, namun banyak orang yang seolah-olah tidak peduli karena bagi mereka hal tersebut terasa menyenangkan.
Ian Kerner, Ph.D seorang ahli terapi seks mengatakan, Kecanduan terhadap pornografi dan kebiasaan menikmati konten porno di internet membuat banyak lelaki menderita sindrom yang ia namakan “Sexual Attention Deficit Disorder” (SADD).
Hal ini menurutnya terjadi karena terbiasa dengan khayalan seks, yang dipicu oleh tayangan-tayangan porno yang dilihat lewat internet.
Para peneliti mengatakan bahwa pornografi merasuk secara emosional, koneksi biologis dan kimia di seluruh otak dan tubuh. Selain itu, gairah akibat pornografi yang mengarah pada pelepasan dopamin, endorfin, oksitoksin, serotonin, dan norepineprin secara alami dapat menjadi candu berbahaya.
Dalam kondisi normal, otak akan merangsang produksi dopamin dan endorfin, yaitu suatu bahan kimia otak yang membuat zat-zat ini sangat bermanfaat untuk membuat orang sehat dan merasa senang, menjalankan hidup dengan lebih baik. Namun dengan mengkonsumsi pornografi secara terus menerus, otak akan mengalami hyper simulating (rangsangan berlebih), kecanduan membuat otak bekerja sangat ekstrim yang mengakibatkan otak bagian tengah depan mengecil dan rusak atau disebut Vegmen Tegmental Area (VTA).
“Pada dasarnya orang kecanduan pornografi merasakan hal yang sama dengan pecandu narkoba, yaitu ingin terus menerus memproduksi dopamin dalam otak. Perbedaannya pecandu pornografi bisa memenuhi kebutuhan barunya dengan lebih mudah, kapanpun dimanapun bahkan melalui handphone dan lebih sulit dideteksi dan diobati ketimbang adiksi narkoba” Jelas Dr Mark Kepala Edukasi & Training Officer For Candeo, perusahaan Riset teknologi dan pelatihan untuk penyembuhan adiksi secara one line yang berpusat di Amerika Serikat.
Ahli bedah syaraf Rumah Sakit San Antonio Amerika Serikat, Donald L. Hilton Jr, MD mengatakan “ Pornografi menimbulkan perubahan konstan pada neotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol. Ini membuat orang yang kecanduan tidak lagi dapat mengontrol perilakunya”, disamping juga menimbulkan gangguan memori. Kondisi itu terjadi secara bertahap yakni kecanduan yang ditandai dengan tindakan impulsif, eskalasi kecanduan, desensitisasi dan akhirnya penurunan prilaku.
Dr Mark B. Kastlemaan (2010) menandaskan , “Banyak orang yang mengabaikan dampak pornografi, padahal efek negatifnya yang sebenarnya lebih besar daripada narkoba dalam hal merusak otak.
Tak hanya itu, pecandu pornografi juga lebih sulit dideteksi ketimbang pacandu narkoba,” Pornografi dapat menyebabkan kerusakan pada 5 (lima) bagian otak, terutama pada Pre Frontal Corteks (bagian otak yang tepat berada di belakang dahi). Kerusakan bagian otak ini akan membuat prestasi akademik menurun, orang tidak bisa membuat perencanaan, mengendalikan hawa nafsu dan emosi, mengambil keputusan dan berbagai peran eksekutif otak sebagai pengendali impuls-impuls, bagian yang membedakan manusia dengan binatang. Sedangkan kecanduan narkoba menyebabkan kerusakan pada tiga bagian otak.
Pornografi dunia maya merupakan bentuk kecanduan baru yang tidak tampak oleh mata, tidak terdengar oleh telinga, namun dapat menimbulkan kerusakan otak permanen bahkan kejiwaan.
Dampak pornografi yang sangat membahayakan harus segera diantisipasi melalui berbagai pembinaan dan literasi disertai pengawasan baik dari pemerintah, media dan masyarakat, khususnya lagi bagi generasi muda agar mereka paham dan mempunyai imunitas terhadap godaan dan jerat pornografi karena bila tidak segera dilakukan akan menjadi wabah yang m enakutkan, merusak moral dan sendi-sendi bangsa. (Supardi, S.Sos)