Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII merupakan tokoh besar di bidang pergerakan, pendidikan dan kebudayaan terutama kebudayaan Jawa. Lahir pada tahun 1885 dengan nama RM Suparto. Pada tanggal 3 Maret 1916 beliau menggantikan pamannya MN VI dengan gelar KGPAA Prangwedana VII. Setelah berusia lebih dari 40 tahun beliau diangkat dan diberikan gelar Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII pada tanggal 4 September 1924.
Sebagai seorang bangsawan Mangkunegara VII menempuh Pendidikan dasar di Europesche Lagere School (ELS), beliau kemudian magang di Kabupaten Demak dan diangkat menjadi mantri pada tahun 1905 sembari memperdalam sastra Jawa dan Bahasa Belanda, kemudian meneruskan belajar di Universitas Leiden dan mengambil jurusan Kesusastraan Timur.
Mangkunegara VII juga aktif dalam organisasi pergerakan Boedi Oetomo, menjadi penasehat perkumpulan pelajar Tri Koro Dharmo dan Jong Java serta aktif menulis di surat kabar Dharma Kandha. Pada tanggal 5-7 Juli 1918, beliau berkontribusi dalam Kongres Kebudayaan Jawa yang merupakan embrio Kongres Kebudayaan Indonesia. Kemudian pada tahun 1919 didirikan sebuah organisasi perkembangan kebudayaan pribumi mencakup Jawa, Madura, dan Bali yang bernama Java Institut yang saat ini menjadi Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Java Institut menerbitkan majalah prestisius Jawa sebagai sarana komunikasi proses perubahan kebudayaan Jawa di tengah bayang-bayang kebudayaan Kolonial.
Beliau dikenal sebagai tokoh yang ingin memadukan antara modernitas yang diwakili budaya barat dengan tradisional yang diwakili budaya Jawa. Nampak dalam keputusan-keputusannya di bidang budaya dan Pendidikan, Mangkoenegara VII memperbolehkan kesenian wayang orang dinikmati dan ditonton oleh masyarakat umum, sesuatu yang pada awalnya hanya bisa dinikmati oleh para bangsawan keraton. Dalam hal Pendidikan, Mangkoenegara VII mempunyai kebijakan memberantas buta huruf di wilayah Mangkoenegaran, beliau juga berpandangan pentingnya Pendidikan bagi kaum perempuan dengan mendirikan Sekolah Siswa Rini yang saat ini menjadi SMP 5 Surakarta.
Usaha menyatukan dua budaya ini juga Nampak jelas pada bentuk bangunan Societeit Mangkoenegaran yang pembangunannya dilaksanakan atas prakarsa beliau. Gedung yang saat ini menjadi Monumen Pers Nasional adalah hasil karya seorang arsitek bernama Mas Aboekassan Atmodirono yang menggabungkan dua budaya langgam Candi periode Jawa Tengah dan langgam kolonial (Penulis: Rahayu Trisnaningsih).