Hanya sebagian jurnalis yang memahami Kode Etik Jurnalistik, demikian hasil penelitian Dewan Pers terhadap 1200 responden jurnalis berbagai jenis media di 33 provinsi. Hal tersebut disampaikan oleh Jimmy Silalahi, anggota Dewan Pers dan Pelaksana Harian Pengurus Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) dalam Seminar Dominasi Pemilik Media terhadap Kebijakan Pemberitaan, Rabu (17/04) di Hotel Horison Semarang.
Dalam seminar yang diselenggarakan atas kerja sama Monumen Pers Nasional dengan Jurusan Ilmu Komunikasi dan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini dihadiri sekitar 150 peserta terdiri dari para pengajar dan mahasiswa, instansi pemerintah, aktivis pers mahasiswa dan kalangan jurnalis lokal. Pembicara yang dihadirkan antara lain: Dr. Henry Subiakto, Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa Kementerian Kominfo; Dr. Sunarto, Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro; dan Jimmy Silalahi, S.Pi.
Lebih lanjut menurut Jimmy, data pengaduan masyarakat ke Dewan Pers mayoritas mengeluhkan tentang pemberitaan yang tidak berimbang dan kekerasan terhadap jurnalis akibat pemberitaan. Kurangnya objektivitas jurnalis ini sering disebabkan arah pemberitaan yang disetir sesuai keinginan pemilik modal. Untuk itu regulator penyiaran sebagai pemegang amanat UU Penyiaran wajib bertindak tegas dalam penegakan hukum terkait adanya monopoli kepemilikan media.
Dr. Sunarto yang menyampaikan tentang dampak dominasi pemilik media juga memaparkan peta kepemilikan media di Indonesia. Kelompok usaha media dominan saat ini adalah Jawa Pos Group, Kompas Gramedia Group, dan Global Mediacom (MNC Group). Dalam hal pemilik media berperan sebagai pemimpin umum atau pemimpin redaksi, mereka berpengaruh langsung terhadap isi pemberitaan, apa saja yang boleh dan tidak boleh dipublikasikan oleh wartawannya. Kepentingan ekonomi dan politik para pemilik media pada akhirnya tampak lebih dominan dibandingkan dengan kebijakan redaksi mereka.
Sedangkan Dr. Henry Subiakto menyoroti antisipasi monopoli media melalui RUU Penyiaran yang mengatur pelarangan aktor penyiaran menjadi pengurus partai politik, mengatur konten wajib netral dan berimbang, mengatur struktur yang melarang digunakan untuk mendahulukan partai politik tertentu, serta mengatur kepemilikan untuk menghindari konsentrasi dan monopoli. Revisi Undang-undang Penyiaran tersebut sudah memasuki tahap daftar isian masalah untuk dibahas bersama DPR. (Arnain Dian Agustin)