Setiap tanggal 30 Maret, insan perfilman kita memperingati Hari Film Indonesia. Penetapan tanggal ini berdasarkan keputusan Dewan Film Indonesia dengan organisasi-organisasi perfilman yang mengadakan pertemuan pada 11 Oktober 1962 dan kemudian diakui pemerintah dengan Kepres No. 25 Tahun 1999. Pemilihan tanggal ini mengacu shooting pertama film The Long March atau Darah dan Doa yaitu 30 Maret 1950.
The Long March disutradarai oleh Usmar Ismail, diproduksi oleh Pusat Perfilman Nasional Indonesia (Perfini), merupakan film pertama yang dibuat oleh anak negeri setelah bangsa ini resmi diakui kedaulatannya. Berkisah tentang perjalanan Pasukan Divisi Siliwangi yang diperintahkan untuk kembali ke pangkalannya di Jawa Barat setelah Yogyakarta diduduki oleh Tentara Belanda. Tokoh sentral dalam film ini adalah Kapten Sudarto (Del Juzar), orang yang ditugaskan memimpin long march ini.
Lalu siapakah Usmar Ismail? Sosok kelahiran Bukittinggi 20 Maret 1921 ini lebih dahulu mengenal sastra dan sandiwara sebelum mengenal film. Lahir sebagai bangsawan Minang, anak dari Datuk Tumenggung Ismail, seorang guru di Kota Padang, dan Siti Fatimah. Seperti umumnya anak-anak Minang, ia sudah belajar sastra dan tertarik sandiwara sejak kecil, pertama kali mengenal film, ketika bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang. Waktu sekolah di MULO ini, bakat sebagai sutradara sudah muncul, saat itu, ia bersama teman-temannya, ingin tampil dalam sebuah acara perayaan yang dihadiri Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang. Usmar ingin menampilkan sebuah sandiwara yang berkesan dan unik bertemakan bajak laut, ia bersama teman-temannya hadir di perayaan itu dengan perahu dan kostum lengkap untuk pertunjukan. Sayang, acara yang direncanakan itu gagal karena mereka terlambat dan terlanjur kelelahan mendayung perahu menuju lokasi acara. Akan tetapi, acara yang gagal itu adalah bukti awal bahwa Usmar Ismail memang berbakat menjadi sutradara, yang mempunyai daya imajinasi untuk menyajikan tontonan yang menarik dan mengesankan.
Lulus MULO, dia melanjutkan ke Algemene Middelbare School (AMS), sekolah yang setingkat SLTA di Yogyakarta, di sini dia makin memperdalam pengetahuannya mengenai sastra dan seni pertunjukan. Selepas lulus dia merantau ke Jakarta dan pada 1942 bergabung dengan Keimin Bunka Sidosho atau Kantor Besar Pusat Kebudayaan yang didirikan Jepang. Di Pusat Kebudayaan ini, bersama Armijn Pane dan kawan-kawan, sering mengadakan pertunjukan drama. Tahun 1943, Usman mendirikan Sandiwara Penggemar Maya, bersama Rosihan Anwar, C. Simanjuntak, H.B. Yassin, El. Hakim, dan Sudjojono.
Ketika Jepang kalah, dan Jakarta diduduki sekutu, Usmar dan kawan-kawannya terpaksa mengungsi ke Yogyakarta, di sinilah dia mengenal Hinatsu Eitaroo, atau yang akrab dipanggil Huyung. Setelah mengenal Huyung, Usmar baru menyadari kemampuan film dalam menyampaikan gagasan dan juga kritik, dari sini dia mulai tertarik dengan dunia film. Di Yogyakarta, Usmar harus menjalani program wajib militer dan menjadi tentara dengan pangkat mayor, dia juga berkarir di dunia jurnalistik dengan memimpin Harian Patriot dan Arena di kota ini. Tahun 1946 – 1947, dia sempat pula menjabat Ketua Persatuan Wartawan Indonesia menggantikan Soemanang yang mengundurkan diri.
Sekembalinya ke Jakarta, Usmar menjadi jurnalis di Kantor Berita Antara, dan karena tulisan-tulisannya, tahun 1948 dia ditangkap oleh polisi NICA dan dijebloskan ke penjara. Tahun berikutnya, setelah bebas, dia mulai terjun ke dunia perfilman, dan pada tahun 1950 bersama Suryo Sumanto, mendirikan Perfini, dan juga memulai shooting film perdana Perfini; The Long March atau Darah dan Doa, film yang banyak mendapat pujian juga cacian dari kritikus film dalam dan luar negeri waktu itu. Film ini dibuat dengan segala kekurangan, baik peralatan maupun pengalaman, namun film ini bisa dikatakan sukses. Film ini juga mendapat kehormatan untuk diputar di kediaman Presiden Soekarno. Meskipun sukses, tetap saja menuai kontroversi, film ini diboikot oleh militer, karena ceritanya dianggap menyudutkan atau terlalu menampilkan sisi gelap seorang tentara. Sebenarnya The Long March atau Darah dan Doa, bukanlah film pertama Usmar Ismail, sebelumya ada film yang sempat dia kerjakan, antara lain Harta Karun, Tjitra, dan Si Bachil, diproduksi South Pasific Film Corporation (SPFC), perusahaan film milik Belanda, namun film-film ini tidak meninggalkan kesan bagi Usmar sendiri, karena selama penulisan dan pembuatan, ia harus mengakomodir keinginan produser yang sering kali tidak sesuai dengan keinginannya, ide dan kreasinya banyak terkekang ketika mengerjakan film di perusahaan ini. Dia bergabung dengan SPFC ini karena diajak oleh Andjar Asmara selepas bebas dari penjara NICA.
Usmar Ismail juga pernah mengenyam pendidikan sinematografi di University of California Los Angeles (UCLA) Amerika Serikat, dan lulus dengan gelas BA. Sepulang dari sana karya-karyanya mulai dipengaruhi oleh gaya Holywood, sehingga banyak menuai kritik dan pertentangan dari pemerintah dan masyarakat, di tengah banyaknya kampanye anti barat waktu itu. Usmar dan Djamaluddin Malik (pendiri Persatuan Perusahaan Film Indonesia) pernah dianggap orang paling berdosa karena menampilkan budaya-budaya Amerika melaui film yang mereka buat. Namun hal ini tidak menyurutkan semangatnya, bahkan membuat dia makin bersemangat berkarya.
Sebagai sutradara, dia sangat produktif, hampir setiap tahun dia melahirkan film, bahkan lebih dari satu film. Beberapa karyanya yang melegenda antara lain The Long March (1950), Enam Djam di Yogya (1951), Kafedo (1953), Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955), dan Tiga Dara (1956). Beberapa bintang yang besar di bawah arahan Usmar antara lain; Suzzana, Chitra Dewi, Leny Marlina, dan Widyawati (Rosihan Anwar; Sejarah Kecil, Petite Historie Indonesia. 2009). Sebagai penutup, mengutip peryataan Asrul Sani dalam pengantarnya di buku Usmar Ismail Mengupas Film (1983: hal. 12), “Dengan segala kekurangan dan halangan-halangan yang harus ia atasi, Usmar Ismail adalah tokoh besar dalam perfilman nasional. Sejarah film Indonesia tidak dapat ditulis tanpa menulis sejarah hidupnya dan perkembangannya tidak akan dimengeri tanpa memahami pikiran-pikiran dalam karangan-karangannya.” (Andi Prabowo)