Judul : Gusti Noeroel : Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan)
Pengarang : Ully Hermono
Penerbit : Buku Kompas Jakarta
Tahun Terbit : 2014
ISBN/ISNN : 978-979-709-812-4
Memoar tentang Gusti Noeroel yang dikisahkan sendiri oleh beliau ketika berusia 92 tahun. Putri keturunan bangsawan dari Pura Mangkunegaran Solo dan Keraton Kasultanan Yogyakarta, yang memiliki nama lengkap Gusti Raden Ajeng Siti Noeroel Kamaril Ngasarati Koesoemawardhani. Ayahnya merupakan orang tertinggi di Pura Mangkunegaran bernama K.G.P.A.A Mangkoenegoro VII, sedangkan ibunya bernama GKR Timoer, putri Sultan Hamengku Buwono VII Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sebagai anak tunggal dari seorang permaisuri, Gusti Noeroel dididik dengan disiplin oleh ayahnya sejak kecil. Ayahnya yang memiliki latar belakang pendidikan dari Barat dan berpikiran maju, menjadikan Goesti Noeroel tumbuh menjadi seorang gadis yang terbuka dengan kemodernan sambil tetap menjaga nilai-nilai budayanya. Apalagi ayahnya memiliki perhatian khusus terhadap perkembangan tari Jawa. Aktivitas menari, menunggang kuda, bermain tenis, dan berenang pun ialah hal yang biasa Gusti Noeroel lakukan.
Pada masa Mangkoenegoro VII bertahta, pertunjukan tari di Pura Mangkunegaran sedang berjaya, baik tari Bedaya, tari Serimpi Wireng, tari Langendriyan, maupun wayang wong (wayang orang). Pada masanya pula, Mangkoenegoro VII mempunyai jasa penting bagi penyiaran di Indonesia, yaitu memprakarsai pendirian stasiun radio. Setelah pendirian stasiun radio tersebut, Belanda membangun kembali sejumlah stasiun radio komunikasi di sejumlah daerah dan kemudian mendirikan organisasi radio amatir bernama NIVERA (Nederlands Indische Vereeniging Radio Amateur). Mangkoenegoro VII menjadi salah satu anggota organisasi ini dengan kode PK2MN. Radio PK2MN membeli sebuah pemancar radio milik perusahaan swasta Belanda bernama Djocjchasche Radio Vereeniging di Yogyakarta, kemudian memberikannya kepada perkumpulan Javanche Kuntskring Mardiraras Mangkoenegaran, untuk menyiarkan suara lantunan gending Jawa di Pura Mangkoenegaran. Gusti Noeroel menganggap peran ayahnya dalam bidang penyiaran sebagai prestasi anak bangsa pertama yang memanfaatkan teknologi informasi radio amatir untuk kepentingan pengembangan kebudayaan.
Ketika beranjak dewasa, sebagai putri mahkota, Gusti Noeroel dibekali oleh Mangkoenegoro VII pengetahuan dan pengalaman lain dengan cara dilibatkan dan diberikan tugas resmi untuk membuka suatu acara atau kegiatan yang biasanya dilakukan oleh kerabat Mangkunegaran. Hal ini bertujuan agar Gusti Noeroel mampu beradaptasi dan memahami dunia luar dengan baik.
Pada tanggal 6 Januari 1937, Gusti Noeroel mendapatkan kepercayaan dari Mangkoenegoro VII untuk menari di hadapan Ratu Wilhelmina di Belanda dan 200 tamu undangan dari berbagai negara sebagai kado pernikahan putrinya, yaitu Putri Juliana dengan bangsawan Jerman bernama Pangeran Bernhard. Tari Sari Tunggal yang berasal dari Yogyakarta dibawakan sehari sebelum pernikahan berlangsung. Sebelum pementasan tari dilaksanakan, dilakukan gladi bersih sehari sebelumnya. Perusahaan Philips merekam secara langsung suara gending gamelan Kyai Kanyut Mesem dari Pura Mangkoenegaran, yang dipancarkan melalui radio SRV (Solosche Radio Vereeniging) Solo. Rekaman tersebut dilakukan dengan tujuan agar pementasan tari berlangsung lancar. Tari yang beliau pelajari dengan tekun di Yogyakarta itu dibawakan dengan anggun dan mendapat sambutan yang luar biasa, baik dari Ratu Wilhelmina sendiri maupun dari rakyat Belanda. Bahkan, surat kabar Nieuwe Roterdamsche Courant begitu menyanjung tarian yang dibawakan. Gusti Noeroel merasa sangat bahagia dan bangga dapat menjalankan amanat dari ayahnya untuk mengantarkan budaya tari Jawa klasik pemberian Pura Mangkoenegaran Solo dari Hindia Belanda (Indonesia) kepada bangsa Belanda.
Hobi menulis sajak ia lakukan sebagai bentuk kecintaannya kepada ibunya tercinta. Beliau memahami bahwa kedudukan ibunya sebagai permaisuri tidak hanya berupa kesenangan belaka, akan tetapi harus siap menerima kenyataan bahwa ibunya dimadu dengan banyak selir oleh ayahnya. Karena pesan ibunya dan keteguhan hatinyalah, Gusti Noeroel berprinsip bahwa kelak ketika menikah ia tidak mau dimadu. Kegemaran membaca dan menulis Gusti Noeroel mengantarkan ia masuk dalam perkumpulan sahabat pena bernama VOJ (Voor Onze Jeugd) dengan nama samaran Streven Naar Geluk, yang artinya mengejar kebahagiaan.
Karena paras dan kepribadian Gusti Noeroel yang cantik dan menarik, banyak pemuda yang datang ingin melamarnya, bahkan raja dari Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX pernah mendatangkan utusan ke Pura Mangkunegaran untuk meminang beliau. Sedianya, Gusti Noeroel akan dijadikan permaisuri, akan tetapi karena Gusti Noeroel teringat akan pesan dan belajar dari pengalaman ibunya, beliau menolak dengan halus permintaan tersebut melalui ayahnya. Sri Sultan Hamengku Buwono IX pun menerima dengan besar hati penolakan tersebut dan sering mengatakan dalam surat-suratnya ke beliau bahwa sampai kapanpun tidak akan mengambil permaisuri.
Selain Sri Sultan Hamengku Bowono IX, pernah juga G.P.H. Djatikusumo, seorang panglima pada saat itu, juga bermaksud untuk melamar Gusti Noeroel. Bangsawan dan pangeran-pangeran lain, baik dari Yogyakarta maupun Surakarta juga memiliki maksud yang sama. Bahkan Sutan Sjahrir, seorang intelektual, revolusioner, dan perintis kemerdekaan Indonesia juga mencoba untuk mendekati beliau. Akan tetapi, hubungan tersebut tidak berlanjut sampai ke pelaminan dikarenakan pandangan Sutan Sjahrir yang merupakan seorang tokoh Partai Sosialis Indonesia tidak mungkin menikah dengan seorang putri bangsawan yang dianggap feodal. Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia pun menaruh simpati kepada beliau. Gusti Noeroel mengetahuinya dari Bu Hartini, istrinya. Bung Karno pernah mengundang Gusti Noeroel datang ke Istana di Cipanas dan mengutus pelukis Basuki Abdullah untuk melukis beliau, dan lukisan tersebut dipajang di ruang kerja Bung Karno. Dikarenakan Bung Karno merupakan tokoh Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan beristri lebih dari satu, yang menyebabkan Gusti Noeroel tidak menanggapi perasaan Bung Karno.
Di kemudian hari, lelaki yang berhasil meminang Gusti Noeroel untuk dijadikan istri ialah R.M. Soejarsoejarso Soerjosoerarso, anak dari K.P.H. Surjo Soejarso dan K.R.A. Amiratih. Sebenarnya, R.M. Soejarsoejarso Soerjosoerarso masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Gusti Noeroel. Ayah dari Mangkoenagoro VII dengan K.P.H. Surjo Soejarso mempunyai hubungan kakak beradik. Sedangkan K.R.A. Amiratih ialah salah satu putri Paku Alam VI dari Yogyakarta.
R.M. Soejarsoejarso Soerjosoerarso, pria pilihan Gusti Noeroel, merupakan seorang militer berpangkat Letnan Kolonel. Beliau bertugas di Bandung sebagai Komandan Pusat Kesenjataan Kavaleri TNI AD. Mangkoenagoro VIII, kakak Gusti Noeroel menggantikan posisi Mangkoenagoro VII yang telah wafat untuk menikahkan beliau dengan suaminya. Sebagai seorang istri tentara, Gusti Noeroel siap meninggalkan Pura Mangkunegaran, untuk mengikuti tugas suaminya. Beliau bersama suami tinggal di Jakarta selama dua tahun, kemudian pindah ke Bandung. Gusti Noeroel pun ikut mendampingi suaminya saat bertugas sebagai Atase Militer Washington DC. Sekembali dari Washington DC, suami Gusti Noeroel pernah diangkat sebagai Rektor Institut Teknologi Tekstil di Bandung. Suami Gusti Noeroel tutup usia pada tahun 1992 karena sakit. Penyuka kue lidah kucing dan kaastengels ini menghabiskan usia senjanya di Bandung bersama dengan putri bungsunya, Maya beserta para cucu dan buyutnya sampai beliau wafat. Memorabilia tentang Gusti Noeroel ditampilkan di Museum Ullen Sentalu Yogyakarta. (Febriani)
Buku ini dapat dipinjam di Perpustakaan Monumen Pers Nasional, untuk ketersediaannya anda dapat mengunjungi Link Katalog Buku Gusti Nurul.