Pertanyaan tentang kapan awal mula sejarah penyiaran di Indonesia dapat menuai berbagai pendapat sejarah yang berbeda-beda tergantung sumbernya. Namun apabila diurutkan dari masuknya teknologi penyiaran radio ke Indonesia maka radio swasta milik Belanda yang lahir pada 1925 bernama Bataviasche Radio Vereeniging (BRV) dapat disebut sebagai radio siaran yang pertama kali mengudara di Indonesia. Selain itu ada Radio Malabar di Bandung yang merupakan radio komunikasi milik Belanda namun bukan berfungsi sebagai radio penyiaran.
Perkenalan masyarakat Indonesia akan penyiaran radio sendiri diawali ketika Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Sri Mangkoenegoro VII menerima hadiah dari seorang Belanda berupa pesawat radio penerima (receiver) di tahun 1927. Pesawat radio tersebut kemudian diserahkan kepada RM Ir. Sarsito Mangunkusumo yang kala itu menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum Praja Mangkoenegaran. Pada 31 Maret 1927, pesawat radio tersebut pertama kali digunakan KGPAA Sri Mangkoenegoro VII beserta Permaisuri Gusti Ratu Timoer untuk mendengarkan siaran langsung pidato Ratu Wilhelmina dari Kota Eindhoven, Belanda.
Sejak saat itu pesawat radio yang disebut dengan nama ‘radio toestel’ tersebut mulai diperdengarkan secara terbuka di lingkungan Mangkoenegaran. Meskipun kualitas suaranya kurang bagus, radio toestel dianggap sebagai benda ajaib yang membuat pendengarnya terheran-heran akan fungsinya.
Dualisme Sistem Penyiaran Radio
Sejak awal perkembangannya penyiaran radio di Indonesia memiliki dua sisi yang berbeda dalam hal konten penyiaran. Pertama adalah jaringan penyiaran radio Belanda yang dikelola oleh Belanda dan berorientasi pada budaya barat. Kedua adalah jaringan Radio Ketimuran yang dikelola oleh bangsa Indonesia dan berorientasi pada pengembangan budaya tradisional daerah.
Pada tahun 1930 kemunculan stasiun radio Belanda semakin pesat merambah berbagai wilayah Indonesia antara lain berdirinya stasiun radio MOVA dan AVROM di Medan; stasiun radio AROP di Padang; serta stasiun radio Van Wingen, Goldberg dan Lyuks di Jakarta, Bandung, Semarang dan Solo. Di tahun yang sama Belanda juga mulai mengembangkan stasiun radio amatir di berbagai daerah dan mendirikan organisasi radio amatir Netherlands Indische Vereeniging Radio Amateur (NIVERA).
KGPAA Sri Mangkoenegoro VII awalnya merupakan salah satu anggota NIVERA. Saat itulah beliau menyadari bahwa siaran radio memiliki pengaruh besar bagi masyarakat, terutama ketika peredaran piringan hitam lagu tradisional kalah saing dengan masuknya piringan hitam lagu barat. Beliau pun mulai mendirikan radio amatir di lingkungan Mangkoenegaran untuk menyiarkan musik gamelan tradisional Jawa melalui call sign PK2MN. Nama tersebut sejatinya merujuk pada kode radio amatir Jawa Tengah yaitu PK2 dan MN singkatan dari Mangkoenegoro VII. Namun PK2MN juga dikenal sebagai Perkumpulan Karawitan Kring Mangkoenegaran yang dikelola oleh perkumpulan seni Javansche Kuntskring Mardiraras Mangkoenegaran.
Setahun sebelum Belanda mendirikan Netherlands Indische Radio Oemroep Maatschappij (NIROM) pada 1934, KGPAA Sri Mangkoenegoro VII terlebih dahulu merintis sistem penyiaran radio di kota Solo bernama Solosche Radio Vereeniging (SRV) tepatnya tanggal 1 April 1933. Dalam rapat yang diselenggarakan di gedung Societeit Mangkoenegaran (sekarang menjadi Monumen Pers Nasional) disepakati pendirian sebuah perhimpunan radio siaran yang akan mengelola SRV sebagai lembaga penyiaran radio profesional. Kepengurusan SRV pun dibentuk dan mengangkat RM Ir. Sarsito Mangunkusumo sebagai Ketua.
Perkembangan jaringan Radio Ketimuran mulai merambah ke kota-kota lain yang sebagian diprakarsai oleh pengurus SRV langsung atau pihak yang berafiliasi dengan SRV, seperti Radio Semarang, VORO Jakarta, VORL Bandung, serta VORS dan CIRVO Surabaya. Di kota-kota tersebut stasiun-stasiun radio dapat berdiri secara mandiri, namun di beberapa kota lain (Bogor, Purwokerto dan Madiun) perkumpulan radio Ketimuran telah dibentuk meski tanpa mendirikan stasiun radio.
Pada 28 Maret 1937 jaringan penyiaran Radio Ketimuran tersebut akhirnya mendirikan asosiasi penyiaran nasional pertama di Indonesia bernama Perikatan Perkumpulan Radio Ketimuran (PPRK). Asosiasi radio ini kemudian bekerjasama secara politik dan ekonomi dengan Belanda dan seakan menjadi bagian dari NIROM sejak 1 November 1940. Namun secara kebijakan isi siaran jauh berbeda dengan Radio NIROM, dimana Radio Ketimuran lebih menjunjung tinggi kesenian dan budaya timur.
Penyiaran dan Perlawanan Budaya
Pembentukan jaringan Radio Ketimuran menjadi peletak dasar bagi infrasturktur penyiaran di Indonesia, yang meliputi teknologi penyiaran, manajemen penyiaran, pengelolaan keuangan, dan terutama isi siaran yang bermuara pada pemahaman akan peran penyiaran bagi perjuangan bangsa di era kolonialisme Belanda. Masa pembentukan dan penyebaran cabang-cabang SRV menjadi penyemai semangat kebangsaan dalam dunia penyiaran.
Menurut Hari Wiryawan dalam bukunya Mangkunegoro VII dan Awal Penyiaran Indonesia (2011:5) menyebutkan istilah Perlawanan Budaya, yaitu bentuk perjuangan yang dilakukan kaum penyiaran Indonesia melawan pendudukan dan penjajahan Belanda. Hal ini karena pada masa jaringan penyiaran Radio Ketimuran berhasil menterjemahkan semangat nasionalisme kebangsaan dalam bentuk siaran radio bernuansa kebudayaan.
Bentuk perlawanan budaya adalah dengan menunjukkan identitas kebudayaan bangsa atau budaya timur sebagai penahan dominasi budaya Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Belanda pun menggunakan penyiaran radio NIROM untuk melemahkan benteng budaya bangsa sehingga lebih mudah untuk dikuasai, namun dengan perlawanan budaya ini maka nilai kesenian dan kebudayaan yang disebarkan melalui siaran radio dapat mempersatukan lagi semangat kebangsaan nusantara.
Ketika bangsa Jepang masuk ke Indonesia dan menguasai NIROM setelah menggantinya menjadi Hosyo Kanry Kyoku (HKK), perlawanan budaya pun beralih menjadi perlawanan strategi politik dan militer namun dengan bekal semangat kebangsaan yang telah terhimpun sejak lama akhirnya pejuang kemerdekaan mampu merebut HKK kembali ke tangan bangsa Indonesia.
Hasilnya pada 11 September 1945 bangsa Indonesia berhasil mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI) dan memanfaatkan penyiaran radio dalam perlawanan melawan kolonialisme Belanda di masa perang kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1946-1949. Fase ini menandai kemenangan perlawanan budaya yang berhasil menekan hegemoni budaya barat hingga menjadi pendukung perjuangan kemerdekaan di masa peralihan kekuasaan pasca proklamasi.
Deklarasi Harsiarnas
Deklarasi Harsiarnas pertama kali dilakukan pada 1 April 2009 di Kota Solo. Deklarasi ini diprakarsasi oleh Hari Wiryawan yang saat itu menjabat sebagai anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah. Hari Wiryawan berhasil meyakinkan sejumlah kalangan mulai dari pemerintah, wakil rakyat budayawan, akademi dan insan penyiaran untuk ikut meluruskan sejarah penyiaran nasional yang bermula dari Kota Solo. Dua usulan disampaikan dalam deklarasi ini yaitu 1) Penetapan tanggal 1 April sebagai Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas); 2) Penetapan KGPAA Sri Mangkoenegoro VII sebagai Bapak Penyiaran Indonesia atas perannya dalam merintis jaringan penyiaran Radio Ketimuran.
Turut hadir dalam deklarasi ini adalah seniman Waljinah dan Gesang, sang maestro keroncong Indonesia. Gesang merupakan seniman Solo yang mengawali karirnya dari studio SRV dan menjadi saksi peran SRV dalam pengembangan kesenian lokal.
Usulan penetapan Harsiarnas ini disampaikan karena sejarah penyiaran dalam perjuangan Indonesia yang berkembang dari masa ke masa belum mendapat perhatian dari pemerintah. Dengan penetapan Harsiarnas juga diharapkan menjadi wadah perkumpulan insan penyiaran untuk membahas isu strategis dan rekomendasi perbaikan di masa depan. Pada tanggal 1 April 2010 para perwakilan insan penyiaran Indonesia mengadakan pertemuan dalam rangka Deklarasi Harsiarnas di Balai Tawangarum Kompleks Balai Kota Surakarta. Presiden Joko Widodo, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Surakarta juga hadir dalam deklarasi Harsiarnas tersebut. Prof. Sasa Djuarsa Senjaya selaku Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat membacakan Deklarasi Hasiarnas tentang pengajuan dua usulan resmi yang sama seperti deklarasi pertama, yaitu penetapan Hari Penyiaran Nasional dan KGPAA Sri Mangkoenegoro VII sebagai Bapak Penyiaran Indonesia.
Delapan elemen masyarakat penyiaran turut menandatangani Deklarasi Harsiarnas yang kemudian diserahkan kepada anggota DPR RI Roy Suryo untuk dibahas di tingkat legislatif. Perwakilan elemen tersebut antara lain: KPI Pusat, LPP RRI, LPP TVRI, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Radio Komunitas, Masyarakat Cinta Media dan Hari Wiryawan sebagai penggagas Harsiarnas.
Sepuluh tahun setelah Deklarasi Harsiarnas pertama, tepatnya pada tanggal 29 Maret 2019, Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Hari Penyiaran Nasional. Dengan pertimbangan bahwa pada 1 April 1933 di Kota Solo, telah didirikan Lembaga Penyiaran Radio pertama milik bangsa Indonesia yaitu Solosche Radio Vereeniging (SRV) yang diprakasai oleh KGPAA Sri Mangkunegoro VII, serta adanya Deklarasi Hari Penyiaran Nasional pada tahun 2009 dan 2010 oleh masyarakat penyiaran di Kota Solo, maka pemerintah menetapkan tanggal 1 April sebagai Hari Penyiaran Nasional. (Arnain)