Ternyata meski presiden telah mengeluarkan PP Nomor 15 tahun 2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau bagi Kesehatan masih berbuntut panjang.
Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia dan Koalisi Nasional Penyelamat Kretek yang notabene beranggotakan kalangan fabrikan rokok melakukan manuver dengan anggota DPR yang pada mulanya dengan maksud mengurangi dampak buruk merokok bagi kesehatan justru berbalik arah melestarikan hegemoni industri rokok yang dapat dilihat dari usaha untuk menggolkan RUU Pertembakauan.
Dampak buruk yang diakibatkan rokok sudah tak terhitung lagi yang dipublikasikan dalam berbagai artikel, opini, iklan baik yang ditampilkan melalui media masa, institusi lewat media cetak, elektronik, maupun one line.
Namun data WHO menunjukkan kecendrungan meningkatnya pecandu rokok dari tahun ketahun bila pada tahun 1995 terdapat sebanyak 53,9 % menjadi 70 % pada tahun 2012 yang berarti dua dari tiga pria di Indonesia merupakan perokok dan Indonesia adalah negara yang menempati peringkat ketiga jumlah perokok dibawah Cina dan India.
Seiring dengan meningkatnya jumlah perokok, produksi rokokpun meningkat tajam dari tahun ketahun pada tahun 2011 sebanyak 260 milyar batang pada tahun 2012 mencapai 279 milyar batang.
Pemerintah sendiri ibarat makan buah simalakama karena cukai rokok yang cukup besar menyumbang APBN. Kurang lebih 57 trilyun pendapatan pemerintah atas cukai rokok, maka menjadi kentara sekali mengapa Indonesia keberatan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), walaupun Indonesia adalah 1 dari 192 negara anggota WHO, dan 137 di antaranya telah meratifikasi FCTC tersebut.
Dana Bagi hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), selain digunakan untuk kepentingan pertanian, industri rokok juga dipergunakan untuk kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.20 /PMK.07/2009 dana kepentingan kesehatan dialokasikan untuk Penetapan kawasan tanpa asap rokok dan pengadaan tempat khusus merokok ditempat umum dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat dengan penyediaan fasilitas perawatan kesehatan bagi penderita akibat asap rokok.
Silang sengkarut antara kepentingan bisnis versus kesehatan seolah tak habisnya, karena dengan omzet 233 trilyun adalah sangatlah menggiurkan bagi pelaku bisnis. Menurut Forbes Orang kaya Indonesia yang bergelut dibisnis rokok diantaranya adalah: Budi Hartono dan Michael Hartono dari PT Djarum dengan nilai kekayaan Rp. 150 trilyun, Susilo Wonowijoyo, Gudang Garam, Rp.74 trilyun, Peter Sondakh, Bentoel, 24 trilyun dan Poetra Sampurna, Sampurna, 23 trilyun.
Kalau dirunut pada tahun 1992 Undang-undang Kesehatan disahkan oleh DPR dengan pasal menggolongkan rokok bukan zat adiktif; Pada tahun 2000 DPR merevisi Undang-undang Kesehatan dan memasukkan rokok sebagai zat adiktif; Lebih separuh anggota DPR tahun 2006 mengusulkan UU Pengendalian Dampak Produk tembakau terhadap kesehatan dan usul itui didrop dari Program Legislasi Nasional (Proleg) 2004-2009; Tahun 2009 UU Kesehatan hasil revisi disahkan rokok dikategorikan sebagai barang yang mengandung zat adiktif dan ayat ini hilang dalam naskah akhir yang disahkan sidang paripurna DPR. Pada tahun ini pula Kementerian Kesehatan menyusun PP Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, turunan UU Kesehatan yang tak kunjung diteken Presiden; Tahun 2010, PT. HM Sampurna mengusulkan Draft RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau untuk dimasukan Program Prolegnas 2009-2014 dan usul ini ditolak, Pusat Studi Kerakyatan ekonomi UGM mengajukan Naskah Akademik RUU Pengendalian Produk Tembakau yang disusun atas permintaan Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia, Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek mengajukan draff RUU Pertembakauan; Bulan Nopember 2012 PP nomor 109/ 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan diteken Presiden, Desember 2012 DPR memasukan UU Pertembakauan( disusun oleh Koalisi Nasonal Penyelamatan Kretek, Aliansi Masyrakat Tembakau Indonesia dan Tim Revitalisasi Pertembakauan Pem. Prov Jatim) dalam Prioritas Legislasi 2013 dan mendrop RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan; Februari- Maret, Badan Legislasi mengundang kelompok yang Menentang dan Mendukung UU Pertembakauan, April – Mei DPR mensosialisasikan UU Pertembakauan, seterusnya …….? (sumber Tempo, 27 Mei -2 Juni 2013).
Sebenarnya masyarakat bukan perokok tidak peduli dengan tarik ulur yang terjadi dilembaga legislasi dengan para pelaku bisnis rokok, masalah rokok kretek dan non kretek, toh dampaknya sama saja bagi yang bukan perokok, dan jelas sekali memang sarat dengan kepentingan para taipan menumpuk kekayaanya . Yang mereka perlukan adalah perlindungan baginya yang justru merasakan dampak jauh lebih membahayakan dari pada para perokok. Namun menjadi ironi, ketika perokok menanggapi keluhan dari mereka yang tidak merokok dengan entengnya mereka berseloroh “tutup saja pabrik rokoknya”
Harus ada usaha terus menerus dan berkesinambungan dari pemerintah dan lapisan masyarakat untuk meminimalsir agar tidak terjadi pewarisan generasi merokok melalui tindakan konkrit melalui: Pemerintah meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC); dan konsisten dengan regulasi yang melindungi kesehatan masyarakat; pelarangan iklan rokok di area publik; tokoh masyarakat memberikan tauladan tidak memberi contoh buruk merokok didepan umum
Saatnnya Pemerintah mengatur dengan ketat peredaran rokok, dan tidak terjebak dalam permainan kepentingan antara politikus senayan dan pebisnis, karena bila dikalkulasi sesungguhnya biaya kesehatan yang dikeluarkan untuk pecandu rokok dan mereka yang terkena dampak diakibatkan rokok jauh lebih besar dibanding cukai yang didapat pemerintah.(Supardi, S.Sos)