Hingar bingar suara terompet lenyap sudah, begitu juga dengan gemerlap percikan kembang api menghiasi langit, kita telah menjejakkan kaki ditahun 2013. Masa lalu adalah kenangan, masa depan adalah harapan dan masa sekarang kita berjuang menyingsingkan lengan baju, bekerja lebih keras untuk meraih cita-cita. Menjejakkan kaki ditahun baru yang penuh dengan onak dan duri segenap permasalahan yang tak tuntas pada tahun sebelumnya menjadi PR yang wajib untuk diselesaikan.
Salah satu permasalahan yang cukup menggelitik dan perlu kita cermati , menurunnya ethos kerja kolektif hampir sebagian besar bangsa Indonesia, khususnya generasi muda karena terkontaminasi oleh budaya individualisme barat yang hedonistik serta gampang berpuas diri dengan apa yang telah diraihnya.
Semenjak dulu bangsa Indonesia memiliki ethos kerja kolektif yang sering disebut dengan gotong royong, dan sekarang tergerus oleh kepentingan individu yang cenderung hipokrit, egois. Budaya gotong royong yang selama ini menjadi ciri kearifan lokal semakin terpinggirkan oleh kepentingan individu. Dampak globalisasi yang ditandai dengan era demokratisasi seolah mendorong pola kehidupan sosial ter fragmentasi dalam satuan ekslusif disertai dengan sikap individualitas mengikutinya, semakin berkurangnya kepedulian terhadap sesama dan hampir semua ranah diukur dengan kalkulasi angka untuk kepentingan sesaat.
Ethos Kerja
Ethos berasal dari bahasa Yunani (ethos) yang memberikan arti sikap,kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata Ethos ini, dikenal pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk (moral), sehingga dalam ethos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Dalam ethos tersebut, ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu dan menghindari segala kerusakan (fasad), sehingga setiap pekerjaannya diarahkan untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari hasil pekerjaanya (no single defect).
Dan dari literatur lain juga disebutkan bahwa ethos berarti ciri, sifat atau kebiasaan, adat istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang, suatu golongan atau suatu bangsa (Mochtar Buchori, 1994).
Menurut Toto Tasmara, bahwa ethos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, menyakini, dan memberikan makna pada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high performance)
Kolektifitas dan individualism
Hofstede 1980 sebagaimana dikutip Lukas S Ispandriarno , mengatakan Kolektifisme dimaknai sebagai masyarakat komunal yang menjunjung tinggi kewajiban bersama terutama bagi kelompoknya dengan tujuan dan nilai-nilai kebersamaan sangat dihargai terutama bagi kelompoknya (in-group). Kolektifis mengutamakan kebutuhan bersama yang menjadi kewajiban masing-masing anggota atau masyarakat.
Semangat kolektifitas dan individualism tidak merujuk pada benar dan salah, namun merupakan kecendrungan budaya yang yang terdapat dimasyarakat. Masyarakat Amerika tingkat keindividuannya sangat tinggi namun kolektifitas mereka akan muncul bila menyangkut kepentingan nasional, salah satu contoh ketika Amerika melakukan pendudukan di Irak maka mereka akan bicara right or wrong is my country.
Ditengah hiruk pikuk kehidupan dan kebutuhan sikap individualis yang mengemuka, manusia sebenarnya tak bisa lepas dari takdirnya untuk hidup berkelompok, saling tolong menolong, saling menghargai, saling memberi saling menerima, saling mencukupi. Jika masing masing individu merasa memiliki wilayah otonomi untuk dirinya sendiri, bukan berarti ia dapat hidup sendiri, memenuhi dan mencukupi segala kebutuhannya, maka diperlukan keseimbangan antara ranah individu dan ranah publik untuk mensinerjikan agar dapat saling melengkapi.
Demokrasi pada dasarnya positif, bila menjadikannya acuan untuk menemukan ikatan bersama dan pembentukan ethos kerja bersama guna menghadapi pelbagai permasalahan yang menimpa negeri ini. Namun bila demokratisasi yang menjamin kebebasan dan kesetaraan untuk semua ditafsirkan negatif akan menimbulkan kondisi anomali hukum dan kekacauan.
Ethos kerja kolektif dan membangun kemandirian merupakan esensi dari karakter bangsa, bila terjadi permasalahan dalam kerangka kerja kolektif kemandirian suatu bangsa maka yang menjadi masalah adalah pembangunan karakter bangsa itu sendiri.
Sistem pendidikan nasional yang terjadi selama ini turut menyumbang degradasi karakter bangsa, perubahan kurikulum yang berulang kali terjadi menjadikan masyarakat limbung. Pembangunan karakter bangsa bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, namun suatu proses dari cetak biru yang berlangsung terus menerus dan bekelanjutan.
Kemandirian
Proklamator RI, Bung Karno mengatakan kita harus berdikari, berdiri diatas kaki sendiri. Dalam pidato beliau 17 Agustus 1965 mengemukakan tiga prinsip berdikari, berdaulat dibidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Kiranya masih relevan apa yang disampaikan beliau dengan kondisi saat ini, tinggal sekarang kemauan kita bersama, apakah kita menjadi bangsa yang lembek membebek larut dalam permainan negara besar atau menjadi kuat dan mandiri sebagaimana yang dicita-citakan pada pembukaan UUD 45.
Semangat/ ethos kerja kolektifism bangsa Indonesia yang dimplementasikan dengan semangat ke gotong royongan dalam ke “Bhinekaan” merupakan modal dasar dan perekat yang kuat mengikat Persatuan dan Kesatuan untuk kemandirian bangsa.
Selamat Tahun Baru 2013.
Datar Pustaka:
– Jurnal Dialog Kebijakan Publik edisi September 2012 : Lukas S Ispandriarno, Semangat Kolektifisme dan Individualisme : Ditengah Kemodernan Peran Negara dan Media Baru.
– http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2180708