Peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) setiap tanggal 20 Mei setiap tahunnya selalu menjadi perayaan soal Budi Utomo. Meski dalam sejarahnya tak panjang umur sebagai organisasi (bubar pada 1935), Budi Utomo tak lekang dimakan waktu sebagai simbol bangkitnya semangat kebangsaan kaum bumiputera.
Budi Utomo didirikan berawal dari ceramah dokter gaek Wahidin Soedirohoesodo di akhir tahun 1907. Wahidin sebenarnya hanyalah seorang dokter Jawa dan priayi rendahan yang sedang berkampanye keliling Jawa untuk pendidikan anak-anak bumiputera.
Saat ia datang ke Batavia, Wahidin diundang oleh dua mahasiswa STOVIA (sekolah pendidikan dokter bumiputera), Soetomo dan Soeradji, yang tak disangka justru lebih tertarik pada gagasan dan tutur kata Wahidin. Berangkat dari pemikiran Wahidin itulah dua pemuda tersebut, dibantu oleh kawan-kawan seperguruannya, berencana membuat perkumpulan di STOVIA.
Rabu, 20 Mei 1908 pukul sembilan pagi, puluhan pemuda berkumpul di ruang anatomi. Dalam perkumpulan tersebut, hadir siswa-siswa dari luar Batavia, seperti dari Landbouwschool (sekolah pertanian) dan Veeartsnijj school (sekolah kehewanan) di Bogor hingga Hogere Burgerschool (sekolah menengah petang) di Surabaya.
Pertemuan tersebut menyepakati pendirikan organisasi yang dinamakan Budi Utomo. Nama ini, menurut Abdurrachman Surjomihardjo lewat bukunya Budi Utomo Cabang Betawi (1980) berasal dari potongan pujian Soetomo pada Wahidin ketika mereka hendak berpisah: “Punika satunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami (Ini merupakan perbuatan yang baik serta mencerminkan keluhuran budi)”.
Hendak Dipadamkan
Kegiatan Soetomo, Soedirjo, dan kawan-kawannya ternyata tak sepenuhnya didukung oleh guru-guru STOVIA. Soetomo, yang pada itu masih berusia 20 tahun, terancam dikeluarkan karena dituduh makar. Aksi solidaritas kemudian dikobarkan, terutama oleh Goenawan, yang mengajak teman-temannya. Goenawan menyatakan Soetomo berhak mengekspresikan pendapatnya sendiri. Ia mengancam apabila Soetomo dikeluarkan, maka ia bersama teman-temannya yang lain juga akan keluar.
Untung saja Dr. F.H. Roll, direktur STOVIA waktu itu sepemikiran dengan Soetomo. Dalam sidang para pengajar, Dr. Roll mengajukan pertanyaan, “Apakah di antara tuan-tuan yang hadir di sini tidak ada yang lebih merah dari Soetomo waktu tuan-tuan berumur 18 tahun?” Pertanyaan tersebut kemudian berhasil mempengaruhi jalannya sidang sehingga Soetomo akhirnya dibebaskan.
Belakangan diketahui Dr. Roll memberi bantuan berupa pinjaman uang untuk kongres Budi Utomo yang pertama. Para pemuda juga menjual arloji, kain panjang, ikat kepala, hingga tunjangan pribadi mereka untuk bulan puasa sebagai sumbangan.
Dipertanyakan
Pertemuan pemuda dan jalan sulit yang ditempuh Soetomo dkk. itulah yang mengawali sejarah singkat Budi Utomo sebagai pelopor organisasi modern bumiputera.
Namun, ditilik dari sejarah pergerakan nasional, Budi Utomo sebenarnya bukanlah organisasi pertama yang memiliki cita-cita untuk membangkitkan bumiputera sebagai kaum terjajah, melainkan sudah didahului oleh satu organisasi dari Solo. Sarekat Dagang Islam namanya, diprakarsai oleh H. Samanhudi tanggal 16 Oktober 1905.
Bapak pers Indonesia, Tirto Adhi Soerjo, bahkan sudah mendirikan Sarekat Prijaji—dengan gagasan yang mirip Budi Utomo—tahun 1906 sebelum ia sendiri juga kemudian ikut bergabung dengan Budi Utomo.
Sarekat Dagang Islam atau SDI awalnya didirikan untuk memperkuat persatuan pedagang pribumi terhadap superioritas pedagang Cina, terutama pedagang batik. Jika anggota dan simpatisan Budi Utomo berasal dari golongan priayi, SDI—yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) tahun 1912—mendapat sambutan yang hangat dari akar rumput. SI ialah organisasi yang lebih egaliter, alias mempercayai bahwa setiap orang itu setara.
“… dengan melalui pemuka agama (para kyai), pengaruhnya meluas sampai daerah-daerah dan pedesaan,” tulis Mansur dalam bukunya Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa (2004).
Hal inilah yang sempat membuat sejumlah kalangan menggugat penetapan Budi Utomo sebagai Hari Kebangkitan Nasional oleh Soekarno tahun 1948. Sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Tetralogi Buru menyebut Budi Utomo sebagai perkumpulan eksklusif yang menganggap dirinya lebih tinggi daripada sebangsa Hindia lainnya.
Peneliti budaya Indonesia, Ariel Heryanyo, dalam kolomnya di The Jakarta Post yang berjudul Questioning the relevance of nat’l awakening day juga mempertanyakan sebutan “organisasi modern Indonesia pertama” untuk Budi Utomo. Penyebabnya seia sekata dengan Pram, yakni bahwa Budi Utomo memiliki karakter yang konservatif. Itulah alasan pemerintah Hindia Belanda membiarkannya berjalan, tidak seperti Sarekat Islam atau Indische Partij yang digebuk dan digembos.
Pernyataan Budi Utomo sebagai kurang progresif dalam cita-citanya memang benar adanya. Setelah cita-cita Budi Utomo mendapatkan dukungan dari priayi dan cendekiawan Jawa meluas, para pelajar seperti Soetomo dkk. memilih mundur dari barisan depan. Sebagian karena keinginannya sendiri agar generasi tua yang memegang peranan. “Dengan ini maka selesailah tingkat pembentukan dalam perkembangan BU,” tulis Abdurrachman
Bupati Karanganyar, Tirtokusumo, yang menjadi ketua pada waktu itu disebut lebih banyak memperhatikan reaksi dari pemerintah kolonial daripada memperhatikan reaksi penduduk pribumi. “Slogan BU berubah dari ‘perjuangan untuk mempertahankan kehidupan’ menjadi ‘kemajuan secara serasi’. Hal itu menunjukkan pengaruh golongan tua yang moderat dan golongan priayi yang lebih mengutamakan jabatannya,” lanjut Abdurrachman.
Meskipun begitu, saya sepakat dengan sejarawan Hilmar Farid dalam artikel Historia yang berjudul Asal Usul Peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
Penetapan Hari Kebangkitan Nasional memang sudah problematik sejak awalnya. Saat masa bersiap Indonesia pascamerdeka tahun 1945, pemerintahan Soekarno menderita banyak potensi perpecahan dalam tubuh republik. Ada yang menghendaki pergerakan nasional didirikan oleh golongan tertentu. Budi Utomo dipilih “karena ia organisasi yang paling moderat, nasionalis, jalan tengah, dan yang paling penting tidak berhasil secara politik,” ujar Hilmar. “Karena kalau berhasil secara politik, orang akan melacak asal usul dirinya kepada organisasi ini; kalau ini tidak bisa.”
Bagi Hilmar, persoalan Budi Utomo bukanlah terletak pada progresif atau konservatifnya ia, melainkan ide kebangkitan itu sendiri.
Budi Utomo bolehlah menjadi mundur setelah diserahkan ke golongan tua, tapi peringatan Hari Kebangkitan Nasional dirayakan tepat 20 Mei 1908, saat beragam pemuda yang sebenarnya sudah punya privilege memilih untuk memperjuangkan penghidupan sesama kaum terjajah, tanpa memperhitungkan asal dan warna kulit.
Penulis: Lazuardi Pratama