Sumber: Peringatan Hari Lahir Pancasila (Suluh Indonesia, 2 Juni 1964)

Peringatan Hari Lahir Pancasila dalam sejarahnya sungguh menarik. Sejak pencetusannya oleh Presiden Soekarno lewat pidato tanpa judulnya di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), peringatannya hanya bisa dihitung jari.

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, Pancasila selalu dikenang masyarakat berkaitan dengan nama Soekarno. Sebabnya, Soekarno selalu mengkampanyekan Pancasila dalam setiap kunjungannya di seluruh Indonesia.

Namun pada tahun 1964, Soekarno tersinggung dengan pernyataan Ketua CC PKI, DN Aidit, dalam pidatonya yang berjudul “Berani, Berani, Sekali Lagi Berani” pada Mei tahun itu. Aidit berkata, “Begitu Nasakom (nasionalisme, agama, komunis) menjadi realitas, maka Pancasila dengan sendirinya tidak ada lagi.”

Menurut Ganis Harsono, juru bicara departemen luar negeri era Soekarno, seperti dilansir Historia, Soekarno tiba-tiba merespons dengan menuntut diadakannya acara peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 1964.

Hari Lahir Pancasila diperingati untuk pertama kalinya lewat upacara kenegaraan di Istana Merdeka. Dalam upacara itu, Soekarno menegaskan kembali bagaimana ia merumuskan Pancasila dan menguraikan kelima silanya.

Peringatan ini kemudian tidak berumur panjang sebab Menteri/Panglima Angkatan Darat Jenderal TNI Soeharto menetapkan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila untuk memperingati keberhasilannya menumpas upaya kudeta 1965. Beberapa tahun kemudian, tahun 1970, rezim Orde Baru secara resmi melarang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dan menggantikannya dengan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober sebagai upaya menghapus warisan Soekarno (desukarnoisasi).

Baru pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Keppres No. 24 Tahun 2016 yang menetapkan kembali 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Mulai 2017, 1 Juni juga ditetapkan sebagai hari libur nasional.

Kembali ke era Soekarno, peringatan tahun 1964 itu kemudian ikut dimeriahkan oleh surat-surat kabar baik yang nasional hingga daerah seperti Sumatera Utara (Waspada) hingga Daerah Istimewa Yogyakarta (Kedaulatan Rakjat), dari yang berbahasa Indonesia, bahasa Sunda (Sipatahoenan), hingga bahasa Inggris (The Indonesian Herald).

Kemeriahan itu dapat dilihat dari halaman muka setiap surat kabar yang menampilkan liputan upacara kenegaraan, deklarasi, hingga pernyataan para tokoh partai serta nasional.

Sumber: Himbauan Pancasila

Bahkan dalam peringatan Hari Anak-anak Internasional di Gelora Bung Karno yang dulunya masih jatuh pada tanggal 31 Mei, Soekarno menegaskan kembali pentingnya Pancasila dan haluan Manipol/USDEK alias Manifesto Politik/Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia, yang oleh Soekarno dijadikan sebagai haluan negara.

Menteri Penerangan pada masa itu, Roeslan Abdulgani, menyatakan, “Bung Karno ingin mengajak kita sekalian hendaknya kita jangan lupa bahwa kita ini adalah merupakan suatu bangsa dan bahwa jiwa kebangsaan kita atau jiwa nasionalisme itu harus kita jadikan pangkal bertolaknya segala aktivitas kita dalam menghadapi segala realitas dan situasi zaman.” Pernyataan ini dikutip dari artikel surat kabar Harian Umum yang terbit 2 Juni 1964.

“Kita tegakkan terus Pancasila di tengah-tengah rakyat Indonesia karena Pancasila-lah dasar masyarakat sosialis Indonesia, masyarakat adil dan makmur, gemah ripah loh djinawi sepanjang masa,” tutur Perdana Menteri ke-8 Ali Sastroamidjojo yang pada itu mengepalai Partai Nasional Indonesia. Soekarno sendiri, selain membicarakan kembali nilai-nilai Pancasila, juga mengomentari pernyataan bahwa dirinya menerima wahyu dari Tuhan dan pencipta Pancasila.

“Presiden Soekarno menolak segala puji-pujian dan pernyataan terima kasih yang dilimpahkan kepadanya sebagai pencipta Pancasila, bahkan oleh Pandji Soeroso (wakil ketua BPUPKI ketika Soekarno membacakan pidatonya tentang Pancasila­—pen) dalam pidato sebelumnya dikatakan bahwa Bung Karno menerima wahyu dari Tuhan. Bung Karno menyatakan bukan pencipta Pancasila melainkan cuma merasa sebagai penggali 5 mutiara dari Bumi Indonesia,” tulis Djawa Pos terbitan 2 Juni 1964 yang meliput pidato Soekarno dalam upacara kenegaraan. “Aku Tidak Mendapat Wahyu, Aku Bukan Nabi, kata Bung Karno,” tulis Kedaulatan Rakjat sebagai headline.

Berikut ini halaman-halaman muka surat-surat kabar tentang peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1964. (Penulis: Lazuardi Pratama)