Tepat 104 tahun yang lalu, 7 April 1917, di Kotaraja (Banda Aceh) lahir seorang bayi laki-laki yang diberi nama Burhanudin, yang kemudian kita kenal dengan BM. Diah. Nama Mohamad Diah diambil dari nama ayahnya yang seorang penerjemah, yang pernah bekerja di Kantor Pabean Kotaraja, sedangkan ibunya bernama Siti Sai’dah. Sebagai karyawan di Kantor Pabean, hidup keluarga Mohammad Diah sebenarnya cukup terpandang, namun BM. Diah tidak menikmatinya, karena seminggu setelah kelahirannya, sang ayah meninggal dunia. Sepeninggal sang ayah, ibunya, Siti Sai’dah harus berjualan makanan, pakaian dan juga perhiasan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Ketika BM. Diah berusia 8 tahun, ibundanya menyusul sang ayah menghadap Yang Kuasa. Diah akhirnya diasuh oleh kakak perempuannya yang bernama Siti Hafsyah.
BM. Diah menuntut ilmu di Holandsch Inlandcshe School (HIS), kemudian melanjutkan sekolah di Taman Siswa di Medan. Ketika dia berusia 17 tahun, dia bersekolah di Middlebarre Journalisten School (Ksatrian Instituut) Bandung, sekolah yang dipimpin oleh Douwes Dekker. Dua sekolah terakhir ini oleh pemerintah Hindia Belanda, dianggap sebagai sekolah tidak resmi, atau sekolah liar.
Meski terbilang minim soal pendidikan, namun kemampuannya tidak kalah dengan kawan-kawannya yang memperoleh pendidikan Belanda atau yang berpendidikan lebih tinggi, terutama terkait kemampuannya di bidang jurnalistik. Kemampuannya ini tidak lepas dari pengaruh Douwess Dekker ketika Diah menimba ilmu di Bandung, dia pernah menjadi sekretaris Douwes Dekker, pemikiran Diah pun sangat dipengaruhi oleh sang mahaguru ini. Kepada Rosihan Anwar dia pernah mengatakan, “Saya mau menjadi wartawan yang terkenal, dan sejak kecil, pengalaman membentuk watak saya, meski berbeda dari yang lain”.
BM. Diah mengawali karier jurnalistik dengan menjadi redaktur di Sinar Deli, Medan, kemudian sempat juga berkarir di surat kabar Sin Po, dan pernah menjadi redaktur pelaksana dan pemimpin redaksi di Asia Raya, sebuah surat kabar yang memihak Jepang.
Kemampuan sesungguhnya dia buktikan ketika di Harian Merdeka, sebuah koran yang penuh dengan konflik ini, dia dianggap sebagai “sesepuh” di sini, karena berhasil melewati beragam konflik internal dan eksternal. Harian Merdeka yang dia dirikan ini juga penuh dengan kisah, bahkan ketika 30 September 1945, sehari sebelum terbit, nama medianya belum ditentukan, meskipun tulisan dan artikel sudah disiapkan sebagian, nama Merdeka spontan dia keluarkan ketika ditanya oleh Mendoer tentang nama koran yang akan terbit esok. Pada 1 Oktober 1945 dini hari, BM. Diah, Mendoer, Anwar Tjokroaminoto, Rosihan Anwar, Schamud, Hutabarat, dan Kamsar, serta petugas layout Achmad dan Saadi telah siap di percetakan De Unie di Molenvliet Oost (Jl. Hayam Wuruk). Mereka bersama-sama memperhatikan mesin yang berputar mencetak edisi perdana koran ini. Dan selesai mencetak, serentak pekikan “Hura, Merdeka, Merdeka Bung!” menyambut edisi perdana ini. Edisi No.1 diisi berita seputaran proklamasi, bendera Merah Putih, juga tentang berita mengenai tentara Inggris dan Belanda yang masih berada di Indonesia.
Di awal terbitnya, koran ini sudah harus menghadapi berbagai masalah, Merdeka dianggap radikal, sehingga sering berbenturan dengan Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL). Diah harus berfikir keras untuk membuat korannya yang baru seumur jagung agar bisa bertahan. Dengan strategi baru dan menguatkan basis, serta semboyan “Berpikir Merdeka, Bersuara Merdeka”, koran ini akhirnya bisa diterima masyarakat. Diah ingin Merdeka tidak berada di jalur politik, karena Diah tidak ingin berpihak pada satu partai. Rosihan Anwar menyampaikan bahwa BM. Diah adalah orang yang teguh dalam prinsip, dia ingin Merdeka menjadi alat juang, bukan penopang suatu golongan. Namun sikapnya ini bukan tanpa masalah, dia sempat berselisih paham dengan Rosihan anwar sendiri, terkait kepemilikan Merdeka. Diah mengklaim Merdeka hanya miliknya, di sisi lain, Rosihan Anwar juga merasa memiliki hak atas koran itu, ujungnya, Rosihan akhirnya keluar dari koran itu dan mendirikan Pedoman. BM. Diah juga pernah terlibat perseteruan dengan Sutan Sjahrir, dia menuduh Sjahrir menarik Merdeka ke arah paham sosialis dengan memanfaatkan Rosihan Anwar.
Pada masa dekade 50an dan awal 60an, Merdeka harus bersaing dengan Indonesia Raya (Mochtar Lubis) dan Abadi (Tasrif – Masyumi), harus diakui oplah Merdeka kalah dari dua koran tersebut. Sebagai jurnalis, dia memang tidak ingin Merdeka dipengaruhi sebuah paham atau ideologi politik, namun Diah sendiri adalah seorang loyalis Soekarno, bahkan dia pernah mendirikan Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) pada tahun 1952, yang ujungnya menjadi bibit pertikaian Diah dengan Semaun. Dalam kondisi seperti ini, Diah masih harus menghadapi konflik dengan anak buahnya, Joesoef Isak, dia menuduh Isak diracuni paham komunis oleh Semaun yang ditopang Harian Rakjat, dan Isak pun akhirnya hengkang dari Merdeka. Kondisinya makin parah, karena sepertinya BPS yang dia dirikan kurang diperhatian Soekarno, dan Sang Pemimpin Besar Revolusi malah lebih dekat ke Nyoto yang notabene adalah kader PKI, bahkan belakangan Soekarno menganggap BPS ini sebagai antek asing yang ingin membunuhnya. Ujungnya, Merdeka dibreidel oleh Departemen Penerangan, untungnya Diah masih mempunyai Majalah Mingguan Merdeka.
Di luar karir jurnalistiknya, Diah pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Cekoslovakia dan Hongaria, kemudian di Inggris dan Thailand. Sekembalinya ke Indonesia, dia mendapat tugas sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia (1966-1968). Selesai menjabat Menteri Penerangan, BM.Diah kembali ke dunia Jurnalistik, dan menjadi ketua PWI yang diakui pemerintah pada tahun 1970, ketika kongres PWI di Palembang sebenarnya memilih Rosihan Anwar sebagai ketuanya, konflik lama antara mereka kembali muncul. Setelah konflik bisa diredakan, Diah kemudian terpilih sebagai anggota Dewan Pembina PWI Pusat (1973 – 1983), dan penasihat PWI Pusat (1983 – 1988).
Burhanuddin Mohammad Diah meninggal dunia di Jakarta pada 10 Juni 1996 pada usia 79 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara militer. Beberapa waktu sebelum tutup usia, Diah harus melihat saham Merdeka terlepas begitu saja. (Andi Prabowo)