QUO VADIS RSBI

Sumber Gambar : www.pendidikankukar.com
Sumber Gambar : www.pendidikankukar.com

Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang digadang-gadang sebagai sebuah terobosan meningkatkan kualitas pendidikan  SDM guna menghadapi persaingan dunia global, melalui uji materi (Judicial Review) yang diajukan oleh perwakilan orang tua yang anaknya bersekolah di RSBI, aktivis pendidikan, guru, dosen dan lembaga swadaya masyarakat  dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Konsekwensi dari putusan itu, semua sekolah yang berlabel RSBI/SBI harus dinyatakan bubar karena dianggap inskonstitusionil/ tidak sesuai  dengan UUD 1945.

Ketertinggalan di berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga menyebabkan pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar internasional. Sektor pendidikan termasuk yang didorong untuk berstandar internasional. Dorongan itu bahkan dicantumkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

Boleh jadi Program RSBI yang diselenggarakan pertama kali pada tahun ajaran 2006/ 2007 pada awalnya mempunyai niat mulia dimaksudkan demi memajukan dan meningkatkan mutu kualitas pendidikan Indonesia agar dapat bersaing, paling tidak sama dengan negara tetangga,  namun pada kenyataannya bukan menjadi sekolah berstandar Internasional namun menjadi sekolah Ber tarif Internasional.

Betapa tidak, terdaftar sebagai siswa RSBI harus menyediakan dana masuk sekian juta, tidak cukup hanya itu, SPP per bulannyapun berjumlah  sekian ratus ribu. Jangan harap siswa pandai tetapi miskin dapat terakses, tidak ada dispensasi.  telah terjadi komersialisasi/ liberalisasi di dunia pendidikan, segala sesuatu dihitung dengan materi

Tumpang tindih Sistem Pendidikan Nasional menimbulkan paradoks, disuatu sisi pemerintah mencanangkan wajib pendidikan dasar sembilan tahun yang  notabene  mulai dari murid SD – SMP digratiskan biaya pendidikannya, namun disisi lain justru di tingkat  SD – SMP berkembang RSBI di berbagai kota, dan hampir semua sekolah Jor-joran untuk mendapatkan predikat RSBI.

Proyek  prestisius RSBI dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolah saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300-600 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.

Siswa yang bisa masuk ke sekolah tersebut, adalah mereka yang di anggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah diseleksi ketat dan yang akan diperlakukan secara khusus. Jumlah siswa di kelas akan dibatasi antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen bahasa Inggris 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia. Sampai saat ini jumlah sekolah RSBI 1.397 sekolah dengan rincian SD 293, SMP 351, SMA 363 dan SMK 390 (Koran Tempo, 14/01/13)

RSBI = Ekslusif

Diskriminasi antar institusi pendidikan pun terjadi, fakta membuktikan : Waktu pendaftaran PSB, RSBI diberikan hak ekslusif lebih awal untuk penerimaan murid baru dibandingkan sekolah reguler, pendaftaran tidak dilakukan secara on-line  tetapi peserta didik langsung mendaftarkan diri ke sekolah yang bersangkutan seolah dengan asumsi sekolah RSBI tidak mempercayai kemurnian NEM, seleksi langsung dari sekolah dapat menginformasikan  perbedaan sekolah RSBI dan Non RSBI tentu saja dengan standard biaya yang ditentukan. Dalam perjalanannya RSBI mulai melenceng dari niat semula, menampung bibit unggul  bahkan sudah menjadi rahasia umum peserta didik yang mampu secara finansial yang mendapatkan kesempatan luas untuk diterima, sementara bagi siswa dari keluarga tidak mampu jangan berharap terlalu banyak.

Selanjutnya biaya pendidikan yang dibebankan kepada para siswa Sumbangan Wajib 5 juta lebih  dan SPP berkisar antara 300 ribu – 700.ribu rupiah setiap bulannya.

Namun sayangnya biaya yang demikian tinggi tidak sepadan dengan kualitas dan kemampuan  guru yang mengajar, penguasaan TI dan Bahasa Inggris yang rendah, bahkan pola mengajarnyapun tak jarang sama dengan  sekolah reguler.

RSBI secara prinsip telah menciderai amanat UUD 45, Pasal 31 setelah diamandemen :

–       Ayat (1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan.

–       Ayat (2) Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

–       Ayat (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu Sistem Pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.

–       Ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan Negara dan anggaran belanja dan pendapatan daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional

–       Ayat (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Ketentuan UUD 1945 itu diperkuat lagi dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pada pasal 34 ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 itu tertulis : ‘’Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.’’

Keputusan MK membatalkan RSBI harus menjadi instropeksi bagi pengambil kebijakan  bahwa sistem Pendidikan Nasional tidak boleh inskonstitusional, jangan  lepas dari akar budaya dan jiwa bangsa. Bahasa menunjukkan Bangsa penggunaan bahasa asing sebagai pengantar, merupakan upaya menjauhkan pendidikan nasional dari budaya yang berpotensi mengikis kebanggaan terhadap budaya nasional dan bertentangan dengan UU No. 24/ 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan. Demikian juga secara sosial pendidikan nasional tidak boleh menciderai hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang sama.

  Untuk mendapatkan (out put) siswa  berkualitas dan handal serta mampu berkompetisi didunia internasional harus melalui sebuah proses panjang tidak seperti membalik telapak tangan, yang paling penting dibenahi terlebih dahulu adalah paradigma sistem pendidikan nasional, para pelaku kurikulum/ guru dengan meningkatkan kompetensi, kapasitas kemampuan dibidangnya.

Mencermati ketertinggalan mutu pendidikan kita dibanding negara tetangga mestinya kita merujuk kembali kepada UUD 45 agar tidak melenceng dari cita- cita dan amanah bangsa. Sudah saatnya Sistem Pendidikan Indonesia di reformasi  dengan mengkaji/ merumuskan formula Sistem Pendidikan Nasional yang baku dengan Blue Print  yang jelas, agar generasi muda pewaris sah negeri ini tidak menjadi korban para  petualang pergantian kurikulum yang hanya demi memenuhi ambisi/ kepuasan pribadi dan kepentingan sesaat.  (Supardi, S.Sos)

Message Us on WhatsApp