Pers sebagai pilar keempat demokrasi kini telah berubah mengikuti modernitas yang kian tak terbendung. Akibatnya, pers kini juga mengalami transformasi, baik dari segi medium, pengelolaan, hingga ideologi yang dianut. Salah satu gelombang besar modernitas yang yang berpengaruh pada dunia pers adalah aliran modal yang begitu massif. Modal besar telah mengubah pers yang seharusnya menjalankan fungsi sebagai “wacth dog” menjadi “power” (kekuasaan) baru. Padahal seperti idiom populer tentang “power” menyebut, “power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutley”. Lantas, siapa yang bertugas mengawasi “kekuasaan” pers?
Paparan di atas terungkap dalam Seminar Nasional “Revolusi Mental Pers; Sejarah Baru Pers Indonesia?” yang digelar Monumen Pers Nasional, Kementerian Komunikasi dan Informasi di Hotel Sahid Rich, Yogyakarta, Selasa (14/4/2015).
Dikatakan Staf Ahli Kemkominfo, Dr Henri Subiakto, pengaruh kekuatan modal dalam industri pers Tanah Air gamblang terlihat pada pertarungan perebutan kursi presiden yang baru lalu. Bagaimana stasiun televisi swasta menyajikan “kecenderungan politiknya”, dengan menampilkan tayangan-tayangan yang condong pada sosok-sosok tertentu, yang merupakan pemilik media bersangkutan. “Tantangan yang dihadapi industri pers Tanah Air begitu kompleks,” ujar Henri yang juga staf pengajar di Universitas Airlangga, Surabaya ini, dalam makalah yang berjudul “Membangun Karakter Bangsa dengan Pers Sehat”.
Di bagian lain, Agung Prabowo melontarkan ide, untuk mencegah kooptasi media oleh pemilik modal, para pelaku atau pekerja pers harus mulai berpikir untuk terlibat dalam kepemilikan saham. “Saat ini yang terjadi adalah sebagian besar media dimiliki oleh mereka yang bukan orang media, bukan pelaku pers. Akibatnya, ideologi media sangat mudah terkooptasi oleh kepentingan pemilik,” kata Agung yang merupakan staf pengajar Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP UPN Veteran, Yogyakarta.
Menurut Agung, inti persoalan media adalah pada kepemilikan. “Apabila pemiliknya pedagang, maka media menjadi barang dagangan. Apabila pemiliknya politikus, maka media menjadi partisan. Pong Harjatmo, artis senior yang juga aktif mengamati kehidupan pers di Tanah Air lain dalam paparannya menyebut, pers punya tanggungjawab mendidik masyarakat menjadi warga negara yang baik dan berbudi pekerti luhur, tanggungjawab yang saat ini seperti dilupakan oleh media pers Indonesia.
Seminar nasional yang digelar sebagai agenda rutin Monumen Pers Nasional ini digelar bekerja sama dengan Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UPN Veteran Yogyakarta, dihadiri oleh seratusan peserta yang berasal dari kalangan mahasiswa, awak media dan kalangan umum. (Erwina Tri S)