Satu tahapan pemilu telah  usai sembari menunggu pemilu berikutnya pemilihan capres dan cawapres Juli mendatang.  Hasil penghitungan cepat LSI sementara , PDIP di posisi teratas dengan raihan 19,77 persen, posisi kedua Partai Golkar 14,61 persen, ketiga Partai Gerindra 11,80 persen dan keempat Partai Demokrat 9,73 persen. Di posisi kelima ada PKB 9,07 persen, PAN 7,47 persen, PPP 7,08 persen, Partai Nasdem 6,27 persen dan PKS 6,61 persen serta Hanura 5,26 persen. Sedangkan PBB hanya memperoleh 1,36 persen dan PKPI 0,97 persen.

Dari hasil tersebut tidak ada satupun partai yang berhasil mencapai 20 % suara pemilih sebagai syarat untuk dapat mengusung calon presiden menurut UU no. 42 tahun 2008, ini merupakan salah satu indikator tidak ada satu partaipun mutlak memenangkan pemilu 2014. Pasti akan terjadi koalisi diantara partai yang memperoleh suara, dan  nilai tawar yang tinggi tentu dimiliki oleh partai pemenang pemilu.

sumber gambar : Infokaget.com
sumber gambar : Infokaget.com

Pemerintahan Koalisi

Menurut Wikipedia Pemerintahan koalisi adalah kabinet dalam pemerintahan parlementer, di mana beberapa partai bekerja sama. Alasan yang biasanya menyebabkan pembentukan koalisi ialah karena tidak adanya partai yang secara sendirian dapat mencapai suara mayoritas di parlemen.

Pengamat politik UGM, Ari Dwipayana mengatakan model koalisi yang berkembang menunjukkan perilaku partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh upaya memburu jabatan (office seeking). Perilaku partai dalam membangun koalisi didasarkan kehendak untuk memperbesar peluang  dalam memperoleh posisi dikabinet pemerintah yang terbentuk.

Dapat dibayangkan para pembantu presiden terdiri menteri-menteri yang diutus partai pengusung koalisi. Sangat sulit bagi presiden untuk bisa berperan penuh dalam mengambil kebijaksanaan, jika tidak didukung oleh partai koalisinya. Kondisi itu bukan rahasia lagi bagi masyarakat yang melihatnya. Jika ada tokoh yang ketahuan berbuat salah dari partai koalisi, maka ia akan diobok-obok supaya mau diajak kompromis mencari solusi yang menguntungkan partai lain.

            Pengalaman mengajarkan bahwa pemerintahan koalisi bukan pemerintahan yang sehat dan ideal, karena sangat kental dengan kompromis yang hanya mementingkan kelompok dan perorangan. Kelemahan selalu diungkit dipolitisir sebagai alat negosiasi dan kompromis. Termasuk kekuatan parlemen ( DPR ) juga terbawa dalam kompromis kepentingan. Tidak ada institusi yang bersih, semua terjangkit korupsi.Tidak ada rahasia lagi antar pemimpin, sama-sama memiliki kelemahan yang bisa dijadikan negosiasi kearah kompromis.

Menurut Bagir Manan mantan Ketua MK,  sekarang ketua Dewan Pers, ada tiga sumber kelemahan pemerintah akibat empat kali amendemen konstitusi adalah :

Pertama, sejumlah materi hasil amendemen tak sesuai dengan konsep UUD 1945, misalnya hak interpelasi. Hak meminta penjelasan presiden ini lazim berlaku pada sistem parlementer untuk merongrong pemerintah.“Interpelasi dapat menjadi jalan menuju impeachment (pemakzulan).” Kedua, terkait dengan undang-undang pemilihan umum yang membuat banyak begitu partai bercokol di DPR. Akibatnya, tidak ada partai yang menjadi pemenang mutlak dalam pemilihan umum. Untuk bertahan di kursinya, pejabat eksekutif, dari presiden sampai bupati, merasa perlu dukungan dari banyak partai.“Sistem ini membuat pekerjaan pemerintah tak efektif dan efisien. Ketiga adalah sering tidak samanya visi para menteri dengan Presiden. Padahal, dalam sistem presidensial, barisan pembantu Presiden semestinya merupakan kabinet ahli (zaken). Kabinet seharusnya diisi orang-orang yang memiliki visi yang sama dengan presidennya.

Indonesia sejatinya menganut kabinet Presidensial namun dengan sistem multi partai hasil amandemen UUD 45, maka disatu sisi juga mengadopsi sistem parlementer dengan banyaknya partai kontestan peserta pemilu yang menyebabkan tidak adanya partai yang dapat meraup suara diatas 50 %. Kelebihan koalisi, bisa mendapatkan kursi dewan bila salah satu dari anggota partai koalisi terpilih menjadi presiden. Sedang kekurangannya, demokrasi jadi kepentingan politik, bukan kepentingan  negara, karena partai yang lebih besar di dalam koalisi memiliki kuasa yang terkadang tidak dipergunakan dengan bijak.

Koalisi yang bermartabat

Belajar dari pengalaman pemerintahan koalisi terdahulu yang mempraktekkan koalisi tambun 6 parpol: Demokrat, Golkar, PKS, PKB, PAN, PPP yang menguasai 423 kursi setara 75,5 %, namun 4 (empat)  kebijakan yang diusung sepanjang 2010 – 2013 gagal direalisasikan karena dijegal justru oleh parpol yang termasuk  dalam anggota koalisi.

Sesuai dengan sila kempat Pancasila, musyawarah untuk mufakat maka koalisi adalah sebuah keniscayaan,  keperluan sekaligus kebutuhan, mengingat pemilu di Indonesia menggunakan sistem multipartai yang tidak memungkinkan adanya partai yang mayoritas.  Pasca pemilu legislatif, seperti saat ini, adalah masa penjajakan koalisi. Partai-partai politik mulai rajin bersilaturahmi satu sama lain untuk menjajaki kemungkinan berkoalisi. Perolehan suara mereka dalam pemilu legislatif menjadi bahan pertimbangan selain kecocokan platform dan visi misi partai.

Setiap presiden membutuhkan koalisi yang kuat walaupun ia dipilih langsung oleh rakyat. Tanpa koalisi yang kuat kebijakan pemerintahan akan terhambat oleh resistensi legislatif.

Koalisi dimaksudkan agar pemerintahan yang terbentuk mendapat dukungan signifikan di parlemen, untuk mengimbangi kekuatan oposisi (berseberangan dengan penguasa).  Koalisi diperlukan untuk memelihara hubungan  dan saling menukar konsesi politik dengan Partai yang terfragmentasi dilembaga legislatif.

Pengamat politik UI Andrinof A Chaniago mengatakan, komposisi kabinet ahli/ profesional (zaken kabinet), ditempati oleh orang yang ahli dan profesional dengan perbandingan minimal 60 % kabinet diisi oleh orang profesional dan sisanya dari unsur politikus agar Indonesia dapat mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain.

Sementara Komarudin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, menegaskan koalisi ideologi dan platform  dinilai ideal untuk membentuk pemerintah yang kuat, koalisi bukan lagi berdasarkan kumpulan partai tetapi berdasarkan kesamaan visi dan misi.

Indonesia kedepan membutuhkan koalisi yang efektif dan efisien, ramping tidak tambun, cukuplah sudah pengalaman terdahulu menjadi pelajaran, sehingga dalam perjalanan negeri ini kedepan tidak tejadi lagi penjegalan, menggunting dalam lipatan , menjegal kawan seiring karena merasa memiliki kartu truf kelemahan kongsi koalisi. Tidak terjadi lagi  tawar menawar, politik dagang sapi, terperangkap oleh kepentingan kelompok/ parsial melupakan kepentingan rakyat pemilih yang memberi amanah dan harus dipertanggung jawabkan tidak hanya terhadap manusia, tetapi juga terhadap sang pencipta.