Pers tak pernah senyap memberitakan sepak terjang caleg, capres dan parpol menjelang pesta demokrasi (Pemilu) 2014, baik media elektronik, cetak maupun sosial media.
Hingar bingar ekpose media makin menyemarakkan suasana, berbagai tawaran, program dan janji-janji tentu yang berkaitan dengan kebaikan, kemajuan, perubahan dan sebagainya. Masyarakat luas calon pemilih semakin banyak pilihan yang sesuai dan bisa mengakomodasi “kepentingan” hati nurani mereka.
Maka berbahagialah parpol maupun caleg, capres yang memiliki “alat” untuk menyuarakan berbagai pesan mereka baik melalui media cetak, elektronik, maupun sosial media. Sebagai contoh Dahlan Iskan pemilik Jawa Pos group telah “beriklan” dalam kurun waktu yang lalu melalui Jawa Pos groupnya diberbagai daerah. Aburizal Bakri (Partai Golkar) dengan stasiun TV One juga memanfaatkan media elektronik miliknya untuk menyampaikan berbagai gagasannya, demikian juga Hary Tanoe Sudibyo (MNC Group) yang awalnya bergabung dengan Partai Nasdem ( Surya Paloh) memanfaatkan stasiun RCTI dan Metro TV, meskipun akhirnya pecah kongsi dengan Nasdem bergabung dengan Partai Hanura (Wiranto) masih memanfaat sihir TV untuk menaikkan pamornya salah satunya melalui kuis kebangsaan.
Diantara 15 parpol peserta pemilu, caleg, capres hanya bisa dihitung dengan jari yang memiliki media. Bagaimana dengan parpol atau calon yang tak memiliki media dalam menyampaikian aspirasinya ? mungkin bisa mengontrak salah satu media untuk memuat pesan – pesan mereka yang tentu saja tidak gratis. Seperti yang dilakukan Partai Gerindra (Prabowo Subianto) juga memanfaatkan media untuk menyampaikan program mereka baik melalui TV dan surat kabar,dan media sosial, Demikian juga Gita Wiryawan Menteri Perdagangan salah satu peserta konvensi capres Partai Demokrat juga getol memanfaatkan sosial media untuk mempublikasikan dirinya.
Memang bagi yang tidak memiliki media, konsekwensinya harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyampaikan ide, pemikiran dan program mereka, dan ketika muncul pemberitaan negatif (black campagne) yang menyerang mereka kesulitan untuk mengklarifikasi nya.
Menjadi pertanyaan kita bersama, bisakah pers berlaku “netral” dalam menyambut pemilu yang akan datang ? melihat fenomena yang terjadi saat ini rasanya sulit. Pada masa Orde Baru dengan semboyan Pers yang bebas dan bertanggung jawab, Integrasi positif antara pers, pemerintah dan masyarakat ;Pers dianggap sebagai corong pemerintah hanya memberitakan hal – hal yang baik dan konstruktif bila kedapatan memberitakan sesuatu yang negatif serta merta diganjar dengan pembreidelan terhadap media yang bersangkutan. Pada masa reformasi pers menjadi penyalur aspirasi masyarakat yang bebas memberitakan apapun tanpa ada satu regulasi yang mengaturnya.
Dan bagaimana dengan kondisi saat ini ? Gambaran diatas tidaklah bermaksud meng-generalisir “menggebyah uyah” bahwa semua pers telah terkomtaminasi oleh syahwat politik dan kekuasaan pemilik dan pengguna media, namun hanya sekedar menyampaikan realitas yang ada.
Pers yang berintegritas.
Secara umum Pers sesungguhnya mempunyai tugas yang sangat mulia, sebagai pemberi informasi, hiburan dan pendidikan. Ketiga fungsi itu harus berimbang dan saling berkaitan. Ketika pers hanya melakukan tugasnya sebagai pemberi informasi tanpa memberikan hiburan maka yang terjadi masyarakat akan jenuh dan phobia dengan informasi atau mungkin menjadi keranjang sampah informasi. Bila hiburan yang menjadi fokus utama, masyarakat akan dinina bobokan oleh tayangan hiburan yang bisa membuat malas, kontra produktif, kurang peduli bahkan meracuni masyarakat.
Pengertian Pers menurut Pasal 1 Angka (1) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan bahwa “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”.
Stephen Klaidman dan Tom L. Beauchamp, dalam bukunya berjudul “The Virtous Journalist”, ada 5
( lima) Prinsip dasar yang harus dipegang oleh Pers dalam mengemban misinya;
– The Reasonable reader Standard, sajian pers hendaknya memperhatikan atau menurut standar pemikiran pembacanya.
– Completeness, lengkap dan tuntas, sajian yang di sampaikan harus bersifat komprehensif.
– Understanding, Sajian pers hendaknya memberikan solusi bagi Problem Sosial dan jauh dari hal hal provokatif dan merugikan masyarakat.
– Objectivity, Objektif atau tidak memihak, maksudnya sajian yang disampaikan harus seimbang
– Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar. (Radar Banjarmasin, 13/01)
Pers yang mencerahkan adalah pers yang tidak berwarna tapi bisa memberi warna kebaikan dimanapun ia berada, ia mampu menjadi stimulus bahkan provokator untuk memajukan pembangunan suatu daerah bahkan bangsa.
Pemilu yang berkualitas
Pemilu 2014 merupakan momen yang tepat untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera mendapatkan wakil rakyat dan pemimpin yang amanah, jujur, bermoral, berakhlakul karimah melalui pemilu yang berkualitas pada Pemilu legislatif (Pileg) April dan Pemilu Presiden (Pilpres) Juli 2014.
Pers Indonesia harus memainkan peran strategisnya yang berintegritas dan bermartabat untuk memprovokasi masyarakat agar menggunakan hak pilihnya secara benar dan bertanggung jawab dengan memberikan pendidikan/ literasi terutama kepada pemilih pemula yang akan menggunakan hak pilhnya, sekaligus men suport pemilih yang telah pernah menggunakan hak pilihnya atau juga mereka yang apriori ( golput ) perlu diberikan penyadaran dan pencerahan bahwa satu suara mereka akan sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan dan nasib bangsa yang akan diwariskan keanak cucu kita kelak. (Supardi, S.Sos)