Tahun 2014 kita mempunyai dua pesta demokrasi besar yaitu : Pemilu Legislatif pada tanggal 9 April 2014 yang akan memilih para anggota dewan legislatif ((DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR-RI, dan DPD) dan Pemilu Presiden pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden 2014 – 2019, sebagian pengamat menyebut tahun 2014 sebagai tahun politik karena tahun ini merupakan arah penentuan perjalanan nasib bangsa Indonesia.
Pemilu merupakan wadah media demokrasi yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi rakyat, karena pemilihan umum sudah menjadi bagian mekanisme penyelenggaraan negara yang tak terpisahkan dari suatu negara yang menganut paham demokrasi
Pelaksanaan Pemilu Legislatif diatur dal;am UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, sedang UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang disertai aturan derivatifnya. Menurut undang-undang tersebut, pemilu di adakan sekali dalam 5 tahun, dan orang yang berhak memilih adalah Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah / pernah kawin mempunyai hak memilih.
Pemilu legislatif 2014 dikuti oleh 15 kontestan Parpol yang lolos verifikasi terdiri dari 13 partai nasional: Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Dekmokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar). Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI) dan 3 partai lokal: Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh, dan Partai Aceh.
Hak asasi politik adalah salah satu hak yang paling esensial bagi setiap individu yang diatur oleh undang-undang , dengan mempergunakan hak tersebut berarti ia telah ikut menentukan arah perjalanan negeri ini kedepan.
Menurut catatan partisIpasi politik keikut sertaan masyarakat dari pemilu ke pemilu pasca reformasi cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 1999 partisipasinya sebesar 92,7 persen; tahun 2004 sebesar 84,07 persen; dan tahun 2009 sebesar 71 persen. Diantara penyebab menurunnya partisipasi masyarakat adalah tidak adanya perubahan yang relatif lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat cenderung menganggap pemilu hanya sekedar acara dari, oleh dan untuk keuntungan partai politik.
Data yang diperoleh dari Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah menyebutkan tahun 2014, pemilih dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 93.439.610 orang, dan pemilih berjenis kelamin perempuan berjumlah 93.172.645 orang. Total pemilih sebanyak 186.612.255 orang.
Dari jumlah tersebut 20-30%nya adalah pemilih pemula. Artinya kira-kira sebanyak 34-37 juta jiwa adalah pemilih pemula, jumlah ini sangat banyak bahkan dapat memenangkan sebuah partai politik secara total pada partai yang mampu menggaet mereka dari target pendulangan suara.
Pemilih pemula
Pemilih pemula adalah orang yang saat pemungutan suara berlansung nanti berusia 17 sampai 22 tahun, sebagian besar dari mereka banyak yang masih duduk dibangku sekolah menengah atas dan mahasiswa merupakan pemilih potensial baik dari segi politik praktis maupun dari segi politik kepentingan masa depan bangsa ke depan.
Secara psikologis, pemilih pemula memiliki karakteristik yang berbeda dengan orang tua pada umumnya. Pemilih pemula cenderung kritis, mandiri, independen, anti status quo atau tidak puas dengan kemapanan, pro perubahan dan sebagainya. Karakteristrik itu cukup kondusif untuk membangun komunitas pemilih cerdas dalam pemilu yakni pemilih yang memiliki pertimbangan rasional dalam menentukan pilihannya. Misalnya karena integritas tokoh yang dicalonkan partai politik, track record-nya atau program kerja yang ditawarkan.
Pencerahan
Perilaku pemilih pemula erat kaitannya dengan faktor sosiologis dan psikologis dalam menjatuhkan pilihan politiknya jika ditinjau dari studi voting behaviors. Preferensi yang dijadikan sandaran dalam melakukan pemilihan cenderung tidak stabil atau mudah berubah-rubah sesuai dengan informasi yang ia terima.
Pemilih pemula perlu mendapatkan pendidikan politik yang secara spesifik , dalam pendidikan pemilih pemula, disampaikan arti penting suara pemilih pemula dalam pemilu, berbagai hal yang terkait dengan pemilu, seperti fungsi pemilu, sistem pemilu, tahapan pemilu, peserta pemilu, lembaga penyelenggara pemilu dan sebagainya. Tujuannya agar pemilih pemula memahami apa itu pemilu, mengapa perlu ikut pemilu dan bagaimana tatacara menggunakan hak pilih dalam pemilu. Setelah pemilih pemula memahami berbagai persoalan pemilu diharapkan dapat berpartispasi menggunakan hak pilihnya.
Karena itu segenap komponen, mereka yang memiliki otoritas (KPU, Pemerintah) wajib meliterasi (politik) pemilih pemula supaya menjadi pemilih yang kritis dan rasional (critical and rational voters). Artinya dalam menjatuhkan pilihannya bukan karena faktor popularitas, kesamaan etnis dan kedekatan emosional, namun karena faktor rekam jejak, visi misi, kredibilitas dan pengalaman birokrasi. Upaya tersebut adalah bagian dari political empowerment bagi warga negara terutama perilaku pemilih pemula dan karena melihat potensi suara pemilih pemula yang signifikan pada Pemilu 2014.
Pemilih pemula yang cerdas adalah pemilih yang sadar menggunakan hak pilihnya untuk memilih pemimpin yang berkualitas demi perbaikan masa depan bangsa dan negara. karena pemilih cerdas tidak mungkin akan memilih pemimpin yang tidak berkualitas, termasuk calon pemimpin jelek yang menawari “money politics”. Pemilih yang cerdas adalah pemilih yang terdidik dan tidak mudah dipengaruhi dengan politik transaksional, sebab politik transaksional terbukti merugikan masyarakat karena pemimpin yang diperoleh dengan cara demikian akan menjerumuskan bangsa ini kejurang kehancuran.( Supardi, S.Sos)