Berbicara mengenai korupsi takkan pernah ada habisnya, ibarat cendawan dimusim hujan yang dengan tumbuh suburnya. Sekarang tidak ada satupun lembaga tinggi negara yang tidak terkena terpaan korupsi : Eksekutif , legislatif dan yudikatif, seolah berlomba-lomba memperlihatkan “kepiawaian-nya” dalam menyiasati perilaku rasuah yang penuh keculasan, dipusat pemerintahan bahkan telah bersimaharajalela didaerah.
Yang sangat menyedihkan perbuatan yang tak elok itu dilakukan berulang-ulang dan menjadi kebiasaan sehingga masyarakat tidak lagi menganggap korupsi sebagai perbuatan aneh yang dilakukan orang-orang yang beradab, menjadi begitu permisif dan cenderung pemaaf. Bagi mereka yang mulai terkena virus korupsi selalu berpikir bagaimana untuk mendapatkan peluang melakukannya paling tidak ikut menikmati “cipratan” hasil korupsi.
Kalau dulu orang bijak bilang “Kekuasaan membuat orang cenderung korup”,sekarang rakyat jelatapun akan/dapat melakukannya tinggal hanya menunggu kesempatan/ peluang, korupsi terasa akrab dengan kehidupan atau mungkin telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Ini tak lepas dari peran media yang selalu memblow-up pemberitaan tentang korupsi : media cetak, elektronik dan media sosial tak pernah alpa meng up-date setiap hari. Lebih miris lagi pelaku korupsi meskipun dengan memakai baju tahanan masih sempat-sempatnya melambaikan tangan kepada awak media/ khalayak merasa menjadi artis dadakan, biar tercemar asal terkenal.
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin, yakni “corruptio” (diambil dari kata kerja corrumpere), yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Wikipedia Indonesia, korupsi merupakan tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak memperkaya diri sendiri menggunakan uang yang bukan hak nya
Emberyo korupsi dalam sejarah Indonesia telah ada sejak jaman kerajaan yang didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita,. tradisi korupsi berjalin berkelindan dengan perebutan kekuasaan diberbagai kerajaan: Singosari, Majapahit, Demak, Banten. Dll.
Pada masa penjajahan Belanda banyak diwarnai dengan korupsi, penarikan upeti yang dilakukan pada jaman kerajaan juga dilakukan oleh pemerintah Belanda melalui antek-antek dan kaki tangannya ironisnya justru dari bangsa kita sendiri.
Pemerintah Republik Indonesia menyadari akan bahaya korupsi sehingga regulasi pemberantasan tindak pidana korupsi telah ada semenjak orde lama hingga sekarang. Mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003.
Menjadi ironi, ketika sebuah peraturan dibuat dengan maksud untuk mengatur, meminimalisir pelanggaran namun justru menjadi semakin marak, pada orde baru perilaku kourpsi masih dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dalam ambang batas tertentu, sehingga muncul akronim korupsi dibawah meja, Tahu sama tahu .Pasca reformasi justru makin menggila, bukan lagi sembunyi-sembunyi, bukan lagi tahu sama tahu, tapi besifat “pemaksaan”, ancaman dan deal-deal tertentu muncul istilah menggebrak meja, kalau perlu mejanya sekalian dikorupsi.
Berdamai dengan korupsi ?
Meminjam istilah orang yang terkena penyakit DM, karena DM tidak bisa disembuhkan maka berdamailah. Merupakan pemerkosaan sebenarnya kalau kita menggunakan istilah ini, lebih-lebih lagi menyamakan korupsi dengan syndrom HIV-AIDS, penyakit yang belum ditemukan obat penyembuhannya. Mungkin ini analogi yang berlebihan, tapi kita perlu khawatir karena regulasi, lembaga (KPK) dengan kesaktiannya belum mampu memenuhi ekspektasi yang diinginkan masyarakat dan ada lagi istilah tebang pilih, penegakan hukum tajam kebawah tumpul keatas.
Maka diperlukan upaya sistematis permerintah yang baik good goverment dan aparatur yang bersih clean goverment serta masyarakat luas taat pada aturan. Aparatur masyarakat sebagai pelayan masyarakat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar sedang masyarakat tidak “berusaha” menggoda pelayannya dengan iming-iming tertentu; merubah mindset/pola pikir kerdil, hipokrit, mementingkan diri sendiri/ egois menjadi lebih peduli terhadap sesama, semua pihak bersinergi untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik.
Bila kita telah sepakat mewariskan negeri gemah ripah loh jinawe, tata tentrem karta raharja kepada para pewaris sah negeri ini, bukan hanya sekedar mengatakan tidak pada korupsi, harus lebih keras lagi, mari nyatakan “perang” terhadap korupsi dan jadikan korupsi musuh bersama.
Selamat memperingati hari pemberantasan korupsi, 9 Desember 2013. (Supardi, S.Sos)