Wartawan Tiga Jaman
Ketika penulis berkunjung dikediamanannya Jalan Karet Padang, beliau sedang istirahat siang. Pria sepuh yang tahun ini genap berusia 83 tahun, dipenghujung usia senjanya wartawan tiga zaman: orde lama, orde baru dan reformasi masih aktif menulis di salah satu harian di kota Padang.
Memakai sarung warna coklat dan kaus warna krem Marthias Dusky Pandoe (MDP) membalas salam penulis, gurat wajah rentanya masih menyinarkan semangat dan keakraban ketika penulis mengenalkan diri dan maksud kedatangan mengunjungi beliau.
Wartawan senior yang sudah pensiun dari harian Kompas ini tak ingin berhenti menulis. Baginya menulis memberikan kehidupan menjadi lebih berarti sehingga dapat memberi manfaat bagi orang lain.
”Menulis untuk terhindar dari kepikunan,” ujar MDP. ”Saya menulis sampai diusia senja, tantangan bagi generasi muda untuk lebih produktif di usia muda.Saya menjadi wartawan tanpa ijazah. Ini tantangan bagi mereka yang mengantongi ijazah perguruan tinggi, lebih-lebih jurusan jurnalistik, publistik, komunikasi massa, apalagi didukung fasilitas teknologi yang demikian canggih, seharusnya wartawan muda harus mampu meningkatkan pengabdian dan karya jauh lebih berbaik dan berkualitas “ lanjutnya.
Beliau telah meluncurkan dua buah buku yaitu: A Nan Takana (Kompas, 2001) yang terjemahan bebasnya dalam bahasa Indonesia , “Apa yang Teringat”merupakan memoar beliau sebagai wartawan, sedang buku keduanya Jernih Melihat Cermat Mencatat (Kompas 2010) merupakan antologi junalistik beliau dan sedang dalam proses penggarapan “Menunggu Maut”.
“Diusia sekarang ini saya telah memperoleh tanda-tanda bertemu dengan maut, yakni tenaga melemah, kepala penuh uban, pendengaran tidak nyaring, sering pelupa, jalan kaki tertatih-tatih, meski demikian alhamdulillah belum pakai tongkat, pada tahun 2000 saya pernah dapat sakit stroke akut, sehingga dirawat inap tiga bulan di rumah sakit, sebulan di RS Yos Sudarso Padang, dan dua bulan di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, dibawah pengawasan dokter ahli Misbach Jusuf. Sekarang akibat gangguan pada tumit tidak lagi mampu berjongkok Jawabnya ketika penulis menanyakan perihal buku ketiganya.
“ Saya hidup dengan hidup”, lanjutnya. “Artinya dalam kehidupan saya selalu beraktivitas untuk hal-hal yang baik. Saya mati dengan hidup. Artinya jika saya meninggal, mudah-mudahan , apa-apa yang ditinggalkan tetap hidup dalam masyarakat. Jangan hendaknya meninggal sekaligus mati pula amal ibadah yang ditinggalkan”.
MDP, lahir di kampung Lawang, kecamatan Matur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 10 Mei 1930. Karier jurnalistiknya dimulai pada 1953 dalam koran sore “Keng Po”. Kemudian pindah ke Pemandangan, Abadi, Aman Makmur, dan tahun 1970 bergabung dengan Kompas sampai pensiun tahun 1998.
“ Saya sangat bersyukur dengan profesi sebagai wartawan yang telah menghantarkan melihat negara lain seperti: Saudi Arabia, Mesir, beberapa negara Asia (termasuk Brunei Darussalam dan Serawak), Australia Barat dan Timur, serta daratan Tiongkok”.
MDP dikarunia tujuh orang anak 2 perempuan 5 lelaki dan 1 anak angkat dari kesemuanya itu ia memperoleh 12 orang cucu. Beliau dikenal sebagai wartawan yang rajin dan teliti mencatat secara detil , segala macam kegiatan mulai dari jam, hari, nama kegiatan pada buku notes kecil yang selalu dibawanya.
Ismet Fanani MD, salah seorang pengurus PWI Cabang Sumatera Barat menyatakan kekagumannya akan sosok MDP, kepada penulis ia mengatakan, “Sangat sulit menemukan wartawan sekelas beliau, wartawan otodidak, yang memiliki integritas tinggi terhadap pekerjaannya dengan ketelitian dan kecermatan dan pengabdian terhadap profesi yang digelutinya”.
“Bagi saya yang paling berharga dan menentukan dalam berkarir sebagai wartawan adalah: integritas, jujur pada diri sendiri, keikhlasan dan dengan hati”. katanya mengakhiri wawancara di siang itu.