Seorang pemimpin sangat erat kaitannya dengan seorang laki-laki. Oleh karena itu kita jarang menemui pemimpin dari kalangan Wanita. Namun, apa jadinya jika seorang Wanita menjadi seorang pemimpin yaitu kepala desa?

Sridaningsih, Wanita yang dipercaya warga desanya menjadi Kepala Desa

Sridaningsih Namanya, surat-surat kabar banyak memuat beritanya, tentang seorang Wanita yang telah terpilih sebagai kepala Desa kelurahan Buloh termasuk dalam Majalah Hidangan Keluarga Edisi 8 Agustus 1959, No. 19 th IV.

 Dalam majalah ini dituliskan terpilihnya Sridaningsih pada 5 Agustus 1957 sebagai kepala desa banyak disambut gembira oleh masyarakat, meskipun banyak pula yang menganggap hasil pemilihan itu tidak sah. Berdasarkan peraturan Hindia-Belanda yaitu IGO (Inlandsche Gemeen te Ordonnantie), yang menyatakan bahwa seoran wanita tidak boleh dipilih menjadi lurah atau Kepala Desa. IGO itu dimuat dalam Staasblad tahun 1907 No. 212 dan ayat 1 dari pasal 5 menyatakan : “…Orang-orang yang tidak boleh dipilih sebagai Kepala Desa, yaitu : (1) Wanita, (2) …” dan seterusnya. Akan tetapi, Pak Miman yang seorang Wedono Ngawen berbeda pendapat. Masyarakat kita telah maju dan Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia menjamin hak sama bagi tiap warga negara Indonesia baik lelaki mapun perempuan. Sebelumnya banyak yang memegang jabatan camat, walikota, polisi, dan menteri, mengapa kepala desa tidak!

Pencalonan Sridaningsih sebagai kepala desa dinilai bijaksana karena dapat mengikuti dan menyesuaikan perkembangan zaman bahwa pemimpin bukan hanya datang dari golongan laki-laki tetapi Wanita juga mampu menjadi pemimpin.

            Sridaningsih dilahirkan 27 tahun yang lalu di Kelurahan Buloh, Kecamatan Kunduran, , Kawedanan Ngawen, Kabupaten Blora. Ia merupakan putri bungsu dari Sumidimedjo yang merupakan kepala desa sebelum Sridaningsih terpilih. Sridaningsih pernah menempuh Pendidikan di Sekolah Rakyat selama tiga tahun sebelum akhirnya menikah.

            Memiliki ayah seorang kepala desa membuatnya tidak terlepas dari kehidupan kepala desa, Sridaningsih banyak bergerak dalam masyarakat. Ia juga melibatkan diri dalam organisasi Wanita Gerwani dan banyak menggunakan waktunya untuk mengajar PBH (Pemberantasan Buta Huruf). Berkat usahanya, lebih dari 80% warga Desa Buloh sudah tidak buta huruf lagi. Selain mengajar PBH, ia juga memberikan pelajaran kerajinan tangan kepada kaum Wanita seperi jahit menjahit, sulam menyulam. Warga sangat menghargai usahanya dan mendorongnya untuk menjadi kepala desa menggantikan ayahnya yang sudah meninggal.             Meskipun masyarakat diluar banyak membicarakan terpilihnya Sridaningsih sebagai kepala desa, namun warga Desa Buloh tetap tenang. Mereka tidak mempersoalkan siapa yang menjadi kepala desa apakah ia lelaki atau Wanita. Yang pokok adalah bahwa desa mereka tidak akan terlantar, mereka dapat mengerjakan sawah dan ladangnya, kebutuhannya dapat terjamin.

Sridaningsih bersama dengan perangkat desanya

Setelah terpilih, Sridaningsih memiliki beberapa rencana kerja untuk memajukan desanya. Sebagai langkah pertama, ia berencana untuk mendirikan lumbung penyimpanan supaya warga desa siap dalam menghadapi paceklik. Separuh dari hasil sawah bengkok yang didapatnya juga akan diserahkan kepada lumbung tersebut.

            Mengingat rencananya yang sangat mementingkan kemakmuran dan kemajuan bagi warga desanya, Sridaningsih sudah memenuhi salah satu aspek penting dalam kepemimpinan yaitu sikap mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadinya. Berkaitan dengan peraturan pada saat itu yang memperdebatkan sah tidaknya Sridaningsih menjadi kepala desa, warga Desa Buloh sudah percaya dan mempercayakan kemajuan Desa Buloh ke tangan Sridaningsih. Ini embali mengingatkan kita tidak penting siapa atau darimana pemimpin itu berasal, baik itu laki-laki maupun Wanita, menjadi pemimpin bisa siapa saja asalkan dia mampu bertanggung jawab dan amanah terhadap tugas yang diemban. (Distya Niken)

Sumber Referensi : Majalah Hidangan Keluarga, 08 agustus 1959, No. 19 th.IV