De Java Post yang terbit pada tanggal 30 Juli 1920. Halaman depan memuat tentang beberapa laporan dari Kominsi Peninjau tentang program  Indische Katholieke Partij (Partai Katolik Hindia). Isi laporan tersebut diantaranya :

1. Belanda memegang kendali untuk melindungi dan meningkatkan ekonomi lemah secara bertahap.  Administrasi tertinggi di bawah pihak Belanda. Sumber daya yang dimiliki Hindia Belanda sebisa mungkin menggunakan kekuatan rakyat pribumi dimana populasinya sangat cocok untuk mengurus kepentingan dan pemerintahan negara mereka sendiri akan tetapi tetap dalam batas-batas Asosiasi Negara Belanda, sehingga bisa mengangkat manajemen yang lemah secara ekonomi.

2. Prinsip umat Katolik adalah program berkelanjutan, dan sebagai konsekuensinya bahwa Undang-Undang harus diterapkan. Hindia Belanda juga perlu dijaga dan didengar, sehingga kepentingan Belanda yang kurang jelas bisa dipahami dengan mudah. Partai Katolik menginginkan pengakuan otonomi Hindia Belanda dimanapun harus diberlakukan. Hal ini sangatlah berbeda pandangan dengan komisi yang ingin membuat Legislatif untuk seluruh Kerajaan Belanda dan ingin melihat otoritas diberikan sebagai campur tangan pihak Belanda.

3. Berdasarkan kebijakan politik yang telah di deklarasikan pada tahun 1917, partai katolik menilai tidak tercantum mengenai partisipasi penduduk sebanding dengan perkembangan administrasi kotamadya, wilayah dan negara. Menurut St Thomas Aquinas, sistem pemerintahan adalah yang terbaik, di mana orang-orang yang akan diperintah dapat berkontribusi dan bukan menuntut pengembangan tertentu, terutama kepentingan nasional secara umum. Karena itu, sebelum pemilihan, perlu diselidiki dulu letak permasalahannya, tingkat perkembangan seperti apa yang diperlukan.

rPada akhirnya komisi selesa merevisi. Badan pemerintahan baru harus didirikan berdasarkan prinsip partisipasi populasi. Orang-orang diharapkan bersedia dengan tulus memberikan pengaruh pada Undang-Undang tentang cabang organisasi yang berbeda dari pelayanan publik hingga pengenaan pajak dan penggunaan dana nasional.

Koran ini juga memuat artikel tentang gambaran umum Belanda dan pribumi. Pada Tanggal 19 dan Agustus Mr. L. P. J. M. Sauter meninggalkan Kota Semarang bersama dengan s.s. Goentoer ke Belanda sebagai penasihat direktur Perusahaan Gas N I (Hindia Belanda). Sauter adalah salah satu tokoh paling menonjol dalam dunia bisnis dan telah bekerja bekerja di perusahaan tersebut selama seperempat abad.

Berita dari berbagai daerah diantaranya yaitu Kolonisasi di Palembang. Bapak Pieters ditunjuk oleh penduduk untuk melakukan pekerjaan persiapan pendirian koloni di Kota Agung. Berita dari Semarang yaitu Tn. Atmodirono, anggota Volksraad meninggal di Semarang dan dimakamkan di sana, banyak orang yang hadir dipemakaman. Di Mlaten Semarang, di lingkungan pekerja paksa, Seorang sipir van Tintelen terbunuh dan asistennya terluka, tidak dijelaskan penyebabnya dan siapa yang melakukannya.

Berita lain tentang penegasan dari Pastur van Lith tentang gerakan di pedalaman. Beliau adalah seseorang yang memiliki banyak simpati dari penduduk asli. Dikatakan bahwa gerakan tersebut seharusnya menjadi tugas bagi semua umat Katolik. Kemudian beliau menyimpulkan dalam artikelnya yang ditujukan kepada semua penganut Katolik Belanda di Hindia, bahwa penduduk asli adalah saudara, sehingga perlunya berbagi kemampuan kepada mereka, seperti berbagi roti setiap hari. Kebanyakan tuan-tuan Eropa hanya bekerja dan hidup untuk diri mereka sendiri.

Kontributor di Weekblad menemukan sesuatu tentang Amal Katolik St. Vincent; yaitu cinta Kristen Cina yang mengabdikan dirinya untuk narapidana, dimana seorang janda Klingalean yang menyerahkan diri dalam keadaan sakit dan sekarat. Judul dari tulisan itu adalah tentang Cinta, Rekonsiliasi, belas kasihan yang ditujukan untuk musuh. Penulis memiliki prinsip perlunya membayar pekerja pribumi sesuai dengan prestasi sebagai rasa keadilan sosial. Janda tersebut hanya dibayar 5 gobang=12,5 sen untuk bekerja sepanjang hari. Hal itu adalah suatu kesalahan dan ini sering terjadi semenjak tahun 1900. Ketika sakit, pekerja pribumi tersebut di usir oleh orang-orang Eropa. Orang-orang Eropa  akan beralasan bahwa pribumi itu dianggap gelandangan yang berkeliaran. Seorang Etnolog yang mengenal mereka, tidak menyetujui mereka hanya dianggap sebagai suatu kemalasan saja. S. S. Westerlijnen mengatakan bahwa menjadi sebuah ironi menghakimi tanpa dasar apapun. Beliau yakin bahwa penduduk pribumi jauh lebih baik ketika kita telah mengenalnya tanpa perbandingan kelas sosial. Selain itu tidak ada manusia yang sempurna. Van den Lesraar, putri Residen mengatakan, kita harus selalu membedakan antara manusia dan kesalahannya, bahkan kesalahan tersebut dapat saja dimaafkan, jika tidak memaafkan berarti bukanlah Kristen sejati tetapi orang-orang kafir yang keras menikam Paulus dan dianggap orang yang tidak punya hati.