Sekitar satu tahun yang lalu Monumen Pers Nasional kedatangan seorang pengunjung yang nampak antusias melihat-lihat koleksi epaper kami. Setelah beberapa percakapan ringan, rupanya pengunjung tersebut adalah putra dari seorang tokoh wartawan Suluh Indonesia, Satyagraha. Berbekal pertemuan dan percakapan ringan tersebut maka Tim Monumen Pers Nasional menemui Satyagraha di rumahnya di daerah Pekayon, Bekasi. Pria sepuh berkacamata itu masih nampak segar, bersemangat dan ramah menyambut kedatangan kami.

Setelah berkenalan, kemudian ia bercerita tentang awal mula dirinya terjun ke dunia pers. “Sejak SMA saya sudah aktif menulis” ujarnya mengawali. “Sebagai siswa SMA saya sudah diberi kesempatan untuk menulis di majalah Gadjah Mada saat itu. Kebetulan tulisan-tulisan saya dibaca oleh suami istri Sayuti Melik dan SK Trimurti”.  Itulah awal perkenalannya dengan Sayuti Melik yang kelak kemudian mereka berdua juga mengawaki Suluh Indonesia.

Jelang PEMILU 1955 semua partai sibuk mempersiapkan diri melakukan propaganda kepada masyarakat baik melalui orasi, organisasi maupun media massa. Hampir semua partai besar saat itu memiliki berupa koran sebagai media propaganda partai. Masjumi dengan koran Abadi. PSI didukung Pedoman, yang dipimpin oleh Rosihan Anwar. PKI punya organ resmi Harian Rakyat dan PSII (Partai Syarekat Islam Indonesia) menerbitkan Pemandangan. Sebagai partai besar pada zamannya,  Partai Nasional Indonesia (PNI) belum memiliki surat kabar sendiri. Atas berbagai pertimbangan maka kemudian muncullah ide untuk menerbitkan satu surat kabar berhaluan PNI yang diberi nama Suluh Indonesia atau dikenal sebagai Sulindo.

Suluh Indonesia merupakan koran milik Partai Nasional Indonesia (PNI) yang terbit pertama kali di Jakarta pada 1 Oktober 1953. Koran ini digunakan sebagai media propaganda partai oleh PNI guna menghadapi PEMILU yang diselenggarakan pada tahun 1955.Saat itu Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai besar belum memiliki media yang mampu berperan sebagai “corong” partai. M. Tabrani sebagai seorang tokoh PNI, saat itu ia ditetapkan sebagai Pimpinan Umum dan Sayuti Melik terpilih sebagai Pimpinan Redaksinya. Kedua pimpinan Suluh Indonesia ini sama-sama pernah dibuang ke Digul oleh pemerintah kolonial Belanda.

Satyagraha sendiri saat itu ditunjuk sebagai redaktur utama Suluh Indonesia. “Pada prakteknya saat itu saya merangkap sebagai reporter, korektor, dan lay-outer. Pak Sajuti, sebagai pemimpin redaksi, hanya menulis tajuk,” katanya. Pada awal penerbitannya beberapa wartawan yang mengawaki Suluh Indonesia “dibajak” dari surat kabar lain karena pada saat itu PNI belum memiliki banyak wartawan. Mereka yang “dibajak” di antaranya adalah Hasan Gayo dari Indonesia Raya, Tan Hwee Tjat dari Pikiran Rakyat dan Tarjo dari Duta Masyarakat NU.

Edisi perdana Suluh Indonesia dicetak di percetakan milik Sutan Takdir Alisjahbana di jalan Ketapang. Pada saat itu Suluh Indonesia terbit sebanyak empat halaman hitam putih. Pasang surut surat kabar Suluh Indonesia sebagai “corong” Partai Nasional Indonesia hingga akhirnya Satyagraha ditahan oleh pemerintah akan dibahas pada tulisan selanjutnya. (Rahayu Trisnaningsih)