BPJS, (Jangan) Bikin Penderita Jadi Susah

Ketika tulisan ini dibuat berarti telah memasuki bulan keempat semenjak BPJS dicanangkan pada 1 Januari 2014, berbagai macam tanggapan muncul, terutama dari pasien yang kebanyakan berisi keluhan dan repotnya pengurusan untuk mendapatkan pelayanan yang baik.

Namun disisi lain BPJS Kesehatan yang baru sebulan beroperasi dari laporan yang dirilis telah mampu meraup keuntungan dari iuran peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar Rp.2.57 trilyun, sementara hingga pertengahan Februari 2014 BPJS telah membayar klaim kepada rumah sakit di Indonesia sebesar Rp.1 triliun 40.37 miliar. Fadjri Adinur, Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan memprediksi dana yang terkumpul pada akhir 2014 sebesar Rp. 38 – 39 triliun.

Sebagai penyegaran perlu  di rewind kembali tentang siapa dan mengapa BPJS ?

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU No. 24 Tahun 2011. Sesuai UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJKN) BPJS merupakan lembaga nirlaba.

UU No. 24 Tahun  2011 menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial Indonesia, seperti Askes, menjadi BPJS Kesehatan dan Jaminan Lembaga Sosial Ketenagakerjaan PT Jamsostek, menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Transformasi PT Askes ke BPJS Kesehatan diawali tahun 2014 sedang PT Jamsostek ke BPJS Ketenagakerjaan tahun 2015. BPJS bertanggung jawab kepada presiden. BPJS berkantor pusat di Jakarta dan memiliki kantor cabang dan perwakilan di provinsi dan kabupaten/kota.

Peserta BPJS.

Menurut pasal 14 UU BPJS  peserta BPJS adalah  warga negara Indonesia  dan warga negara asing yang sudah tinggal di indonesia selama 6 bulan wajib menjadi anggota BPJS. Perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota BPJS; orang atau keluarga yang tidak bekerja  diperusahaanpun wajib mendaftar pada BPJS, yang keanggotaanya akan ditarik iuran sesuai dengan kelasnya, untuk kelas III Rp.25.000, kelas II Rp. 42.500, kelas I Rp. 59.500. Sedangkan untuk warga miskin akan ditanggung oleh pemerintah melalui program bantuan iuran.

ilustrasi : www.kpmak-ugm.org
ilustrasi : www.kpmak-ugm.org

Pelayanan BPJS dalam praktek

Diawal peluncuran BPJS berbagai janji dan kemudahan dan fasilitas diumbar, bahkan BPJS digadang-gadang menjadi solusi permasalahan kesehatan yang selama ini terjadi sehingga tidak terjadi lagi penolakan dan pengusiran terhadap pasien miskin sekaligus menepis kalimat, orang miskin dilarang sakit kenyataannya dilapangan  justru tidak sesuai jauh panggang dari api , tercermin dari keluhan berbagai pihak yang terkait baik masyarakat, pasien , tenaga medis , dokter, rumah sakit, apotik.

Diantara keluhan- keluhan masyarakat pengguna  BPJS adalah  rumitnya proses/tahapan pelayanan pengobatan yang harus dilalui. Dari pihak rumah sakit sendiri juga mengatakan kendalanya adalah pada pelayanan pasien penebusan  obat kalau dulu bisa  beberapa macam sekarang dibatasi. Selain itu prosedur sekarang lebih ribet, pasien diharuskan berobat ke Puskesmas, diusahakan sebisa mungkin ditanggulangi, bila tidak bisa baru diberi rujukan ke rumah sakit type B, kalau tidak bisa juga ditangani  kerumah sakit type B kalau belum bisa baru ketype A. Selain itu untuk pasien Askes dan Jamsostek yang sakit lebih dari 10 hari tidak bisa mengambil obat dari rumah sakit tetapi diapotik yang ditunjuk BPJS.

Pro Kontra BPJS

Menko Kesra Agung Laksono berani memastikan tidak akan ada lagi rumah sakit menolak pasien miskin, menurutnya sejak BPJS kesehatan yang efektif diluncurkan per 1 januari 2014 tercatat 86,4 juta warga miskin ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Kebutuhan pengobatan untuk pasien telah tercakup dalam BPJS Kesehatan, termasuk kecelakaan, dan pengobatan sakit berat. Lebih lanjut ia menuturkan BPJS Kesehatan merupakan proyek prestisius karena menjamin kesehatan 250 juta masyarakat Indonesia jauh lebih besar dari obamacare yang hanya menanggung 30 juta warga Amerika.

Sebaliknya mantan Menkes , Siti  Fadilah Safari, menyebutkan UUD 45 telah mengamanatkan bahwa jaminan sosial merupakan kewajiban negara  terhadap seluruh rakyat sebagai wujud perlindungan, pemajuan dan pemenuhan hak warga negara. Pasal 17 UU SJSN  yang mengatur tentang iuran wajib dan adanya sangsi tidak memperoleh hak bila tidak bisa membayar jelas menciderai rasa keadilan dan melanggar konstitusi karena mengubah jaminan sosial yang seharusnya menjadi hak rakyat menjadi kewajiban rakyat.

Kontrol BPJS.

BPJS sebagai satu-satunya lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat setelah peleburan Askes, Asabri, Jamsostek memerlukan pengawasan dari berbagai pihak , karena UU SJSN yang bagus tersebut ternyata memiliki kelemahan jauh dari tujuan UUD 45 diantaranya: Wajib iur bagi peserta dan sanksi bagi yang tidak membayar tidak mendapatkan pelayanan kesehatan,  uang yang sudah dibayarkan tidak bisa ditarik, padahal uang tersebut uangnya pribadi; BPJS lembaga adalah nirlaba yang boleh memutar uang dari peserta untuk bisnis tertentu, padahal yang diputar adalah uang publik dalam jumlah besar, kalau rugi siapa yang bertanggung jawab ? bagaimana bentuk pertanggung jawabannya ? Harus ada pengawasan dari lembaga yang berwenang.

Beberapa pihak menganggap pelaksanaan BPJS seperti dipaksakan/ prematur  karena terbukti belum siapnya SDM, jaringan kerja maupun dukungan finansial. Gambaran diatas menunjukkan minimnya persiapan, memasuki bulan keempat pelaksanaan JKN masih banyak peserta tidak puas dengan pelayanan kesehatan, pemberian obat kepada pasien kronis rawat jalan yang biasanya diberikan untuk jangka satu bulan  diberikan  hanya untuk pemakaian 5 -7 hari,  menyebabkan penderita harus bolak balik dan jelas akan menyita biaya dan waktu, begitu juga dengan warga miskin yang belum masuk daftar penerima bantuan iuran yang tidak mendapat pelayanan JKN.

Betapapun itu BPJS telah dicanangkan, dengan segenap kelemahan dan kekurangannya, menjadi kewajiban bagi BPJS khususnya untuk melakukan koordinasi secara terus menerus dengan berbagai pihak terkait guna meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat Indonesia yang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna demi meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya sesuai dengan amanat UUD 45, sehingga kalimat satire dari akronim Bikin Penderita Jadi Susah yang dimuat disalah satu rubrik  suratkabar lokal beberapa bulan yang lalu dapat ditepis sesegera mungkin.

Message Us on WhatsApp