Siapa tak mau harta karun? Harta karun adalah sejumlah besar harta atau kekayaan lain yang tersembunyi, maupun yang ditemukan namun tidak diketahui asal-usulnya (http://id.wikipedia.org/wiki/Harta_karun). Harta yang umumnya berupa perhiasan emas atau logam mulia lainnya yang terpendam dalam tanah puluhan atau ribuan tahun lalu yang bisa menjadikan pemiliknya kaya raya. Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkannya. Namun, tak sedikit orang yang tertipu dengan dengan membeli “peta harta karun” palsu yang tak lebih akal-akalan para penipu saja.
Koran Kuno yang bagi sebagian orang hanya menjadi sampah atau barang bernilai guna rendah (rongsok) justru dapat menjadi harta karun yang tak ternilai harganya. “Salah satu yang dapat menambah pengetahuan anak adalah stand pameran majalah dan koran kuno.
Di sekolah, anak (dan juga kita dulu saat masih sekolah) dalam pelajaran sejarah pernah mendengar nama koran / majalah Fikiran Ra’jat, Soeloeh Ra’jat Indonesia, atau koran zaman Belanda DeLocomotief.” seperti yang ditulis dalam blog (http://holiparent.blogspot.com/2012/07/menemani-anak-melihat-majalah-koran.html).
Sedangkan disalah satu online shop Koran kuno dibandrol dengan nilai Rp.500.000.000,-(Lima Ratus Juta) per eksemplar. Tak hanya nilai fisiknya namun informasi sejarah yang pernah tercatat didalamnya menjadi “Harta Karun” . Lihatlah dibeberapa blog atau website yang menjual barang atau koleksi langka, koran dan majalah kuno tak kalah nilai jualnya dengan perhiasan emas.
Ratusan bahkan jutaan eksemplar koran dan ratusan diantaranya termasuk koran kuno menjadi koleksi Monumen Pers Nasional seperti DELOCOMOTIFE th. 1938, Kia Pao th.1951, Mata-hari th.1935 dan masih banyak yang lainnya. Sayangnya tak banyak orang mau menggali “Harta Karun” diantara tumpukan koran dan majalah kuno itu, mengangkat informasi dan sejarah didalamnya menjadi sesuatu bernilai komersil seperti Google atau Wikipedia. Siapa mau “Harta Karun”?… observasi di Monumen Pers Nasional. (Eti Kurniasih).