Arsip
Halaman Artikel
Creative Commons License

Jika anda mendapati gambar tidak sesuai dengan spesifikasi data (salah tanggal dan atau salah penomoran halaman), posisi gambar landscape, satu gambar terdapat dua halaman, kualitas gambar kabur, anda bisa melaporkan data tersebut agar segera diperbaiki dengan menekan tombol laporkan.

Kata Kunci Pencarian: kesultanan siak

Nama: Waspada
Tipe: Koran
Tanggal: 2002-10-06
Halaman: 06

Konten


4cm 4cm SIARAN MINGGU WASPADA Oleh Adi Mujabir -n BUDAYA Semangkuk Mimpi Sesendok Tabiat (Kepada Tuan-tuan Deliserdang) Di Dusun terpencil dan miskin itu telah meninggal empat orang balita. Menyusul puluhan anak-anak kini tengah dirawat di rumah. sakit. Anak-anak itu kurang gizi.Sungguhkah tuan-tuan menangis dan berduka? Adakah pena keemasan yang sering di saku tuan-tuan menuliskan di lembaran kertas hidup bahwa Deliserdang, pada 30 September 2002 itu, selayaknya mengibarkan bendera setengah tiang. Setengahnya lagi untuk memperingati Gerakan kekejaman PKI, dan setengahnya lagi memperingati sebuah luka bernama lapar? Dusun Pardomuan itu memang terpencil. Hanya ada 30 KK dengan kondisi rumah yang menyedihkan. Tentang lapar, tentang sakit, dan tentang mati ada di sana. Tapi percayakah tuan-tuan, bahwa soal itu bukan hanya terjadi kemarin? Bahwa sebenarnya tuan-tuan baru sekali itu menjenguk dusun itu, dengan berjalan kaki sepanjang 4 Km, dengan menyisakan uang Rp 50,000 per KK dan 20 dus mie isntan? Hanya karena Natalia meninggal? Hanya karena koran-koran mengabarkan? Dusun Pardomuan itu, sesungguhnya adalah pelajaran hidup yang tertunda. Di sana ada jarak. Sebuah sekat yang mengaburkan. Betapa bedanya semangkuk nasi dan semangkuk mimpi, sesendok gizi dan sesendok tabiat. Namun semua itu menjadi sama di dusun itu. Karena kesemuanya bermuara pada pasrah dan luka. Bisakah tuan-tuan singkap makna jarak saat deringan beragam HP milik tuan-tuan memecah kesunyian dusun itu? Jarak pada dasarnya menghadirkan rasa rindu, bentangan kasih. Walau "berjauhan" namun ada "tegur" dan "sahut " di sana. Namun sebuah jarak bisa juga sebuah kesombongan, lalai dan kebekuan hati. Maka percayalah tuan-tuan. Ketika dusun itu memiliki sepi yang berjarak pada sepi tuan-tuan, dusun-dusun serupa masih ada dan selalu ada. Dan semua itu, akan semakin melahirkan jarak-jarak lain ketika rasa iba dan rasa peduli hanya serangkain upacara. Menjenguk berbondong-bondong saat beberapa nyawa telah pergi. Ada sebuah dongeng dari India tentang raja gemuk dan bodoh. Dalam dongeng ini sebuah jarak terbangun dari jiwa kaum serakah. Keserakahan dan kecurangan akan selalu lahir menyertai orang-or- ang berkuasa namun tolol. Syahdan, raja mendengar anjing melolong. Raja bertanya pada meneteri. Meneterinya menjawab bahwa anjing-anjing itu sedang Dosen Etnomusikologi FS USU Lanjutan Minggu lalu Menurut penulis dalam proses pem- bentukan budaya nasional selain orientasi dan fungsinya, juga harus diperhatikan kedinginan dan tak punya baju panas. Mendengar itu sang raja murka. la perintahkan agar pejabxat yang mengurus keperluan anjing dipecat, dan memerintahkan menteri untuk membeli ribuan mantel hangat agar diserahkan pada anjing-anjing yang kedinginan itu. Saran pertama dilakukan sang menteri sedang perintah yang terakhit tidak. Sang menteri menilap uang mantel hangat itu. Untuk meredam lolongan anjing, sang menteri memerintahkan bawahannya mengusir anjing masuk ke dalam hutan. Yang menantang tewas dibunuh. Beberapa waktu kemudian, sang raja mendengar lagi lolongan anjing. Sang menteri segera menjawab dengan banyak dalil. " Sebahagian dari anjing-anjing itu berteriak gembira mendapat mantel hangat, sementara yang lain menuntut untuk mendapatkan tambahan mantel lagi. : Apa itu? Satu saat raja melihat seekor babi hutan. Rajua Menteri Raja Menteri Raja Raja Menteri Raja Menteri Raja Raja Menteri Raja Menteri Raja keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran dalam mengangkatnya dari lokasi daerah (etnik) ke tingkat nasional. Sebaiknya terjadi secara wajar, alamiah, dan bukan bersifat pemaksaan pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Harus pula menyeimbangkan antara bhineka dan Kidro Membiarkan Karya Itu Bicara Banyak yang menarik dari perupa yang satu ini. Baginya, semakin panjang perjalanan kreativitas dilalui, semakin banyak karya dilahirkan maka sesungguhnya seniman itu "merasa" semakin kecil. Kesemuanya, menurut perupa ini, adalah pengalaman batin yang pal- ing berharga. Kidro, perupa kelahiran Takengon, Aceh Tengah 1935 ini memang tak terlalu memiliki "hentakan" sebagaimana perupa yang pernah punya nama populer di negeri ini. Namun, dalam sejarah perkembangan seni rupa di negeri ini, nama Kidro sulit untuk diabaikan begitu saja. Lelaki kurus dengan sinar mata teduh ini sudah ikut mewarnai perkembangan seni lukis di Medan. Setidaknya, pelukis ini menimba ilmu dari Mahmud Tarigan dan pelukis kenamaan Sekar Gunung. Beberapa pengamat seni rupa menilai, karya Kirdo kuat pada panorama eksotisnya. Batinnya sebagai seniman mampu merekam kehidupan masyarakat di sekitarnya. Lebih dari itu, sebagai sorang pelukis, Kidro memang tergolong "bukan orang biasa". Kidro selalu bermula dari keluguannya. Dalam rekaman batinnya ia memberikan keleluasaan penuh pada goresan kuasnya. Maka setiap karya Kidro menampakkan panorama bermata dua". Satum sentuhan kuasnya yang menawan. Dua, lukisannya "bicara" sendiri. Artinya, Kidro memang membiarkan karyanya bicara sendiri. Kekuatan ini, dinilai banyak teman seangkatannya, dikarenakan pelukis ini sejak awalnya akrab dengan kehidupan rakyat kecil. Kidro pernah menjadi tukang becak di Medan. Pengalaman batin "yang tak biasa " ini membaur dari ketekunan seorang Kidro belajar melukis. Ketekunannya dan keteletiiannya dalam memainkan kuas di atas kanvas. Perjalanan seorang Kidro memang menguat dari kelugasannya berkarya. Sejak di Medan, sekitar tahun 1970, Kidro pernah berpameran di Singapura bersama Said Saleh, Azis SP. Sejak itu perupa yang selalu rendah hati ini memilih untuk menetap di Jakarta. Perjalanan Kidro semakin banyak tantangan mengingat di Jakarta banyak berkumpul para perupa. Dengan kesungguhannya ia berpameran tunggal di Balai Budaya Jakarta. Pada tahap berikutnya, Kidro berpameran tunggal di Gallery Pasar Seni Jaya Ancol pada tahun 1991. Sejak itu ketegasan karakter Kidro dalam merekamn panorama eksotis kian tampak. Sedikit banyaknya, keberaniannya berpameran dan karyanya yang memapar lugas membuat karyanya dilirik peminat lukisan. Kini, Kidro yang tetap bertahan di Jakarta itu memang kukuh pada pendiriannya: selalu melantunkan panorama eksotis, membiarkan karyanya bicara sendiri tanpa ada keinginan darinya untuk ikut menggurui para penikmat karyanya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karya Kidro yang dipamerkan belum lama ini (18-25 Agustus 2002) pada Pameran Lukisan Peringatan Satu Abad Bung Hatta. Itu gajah, Tuanku. Kok hitam dan kecil? Di antara karya yang dipamerkan, sebuah lukisan seorang ibu sedang menggendong anaknya tampak mewakili segala kekuatan yang ada pada Kidro (lihat foto) lugas dan menyayat, Sementara sebuah lukisan lagi memang terasa begitu istimewa. Sebuah lukisan yang juga menjadi penghias sampul depan katalog pameran puluhan perupa ternama itu bertajuk "Baca Koran Waspada Saya dan karya saya adalah bagian terkecil dari segala kebesaran Allah itu," tuturnya soal ratusan karya yang telah ia ciptakan. Dan kata-kata itu memang cermin dari kesehajaan seorang Kirdo. (c-bir) Dia kurang makan dan kurang gizi Hukum kepala dinas yang mengurisi binatang. Belanjalah segala macam gizi. Satu saat sang raja melihat babi hutan yang kurus. Hey, menteri. Mengapa gajah itu tak juga besar dan gemuk? Itu bukan gajah, tuanku. Itu tikus. Tikus sebesar itu?" Karena juru masak selalu lalai. Makanan dicuri tikus. Bunuh tikus-tikus itu dan hukum juru masak. Satu saat raja mendengar ada bayi mati kelaparan. Kenapa ia bisa lapar dan mati? Ia tidak lapar atau busung lapar. Ia kekenyangan dan mati. Kalau begitu buat perda soal hidup hemat dan ketatkan ikat pinggang. Usai bicara raja mengeluh. Kenapa, tuan? Apakah perutku terlalu besar sehingga ikat pingangku putus? ikanya budaya kita. Perlu disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumla- han kuantitatif budaya etnik Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogis antara budaya etnik dan setiap etnik merasa memilikinya. Dari uraian-uraian di atas jelaslan ter- gambar kepada kita adanya perbedaan pendapat di antara pemikir-pemikir buda- ya: (a) ada yang berorientasi kepada buda- ya Barat yang dinamis dan rasional, (b) adapula yang mengemukakan perlunya meneruskan budaya lama pra-Indonesia sambil menerima dan mengolah kebuda- yaan asing yang dapat memperkuat jatidiri nasional Indonesia. Dalam konstitusi kita UUD 1945, tampaknya pendapat kedualah yang tercermin. Namun secara konseptual para pemikir budaya juga memiliki persa- maan persepsi yaitu mereka setuju akan adanya dan terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia sejak lahirnya negara Republik Indonesia, yang berasal dari daerah-daerah di wilayah Indonesia. Selaras dengan era reformasi, maka berbagai tatanan negara dan masyarakat kita akan berubah bentuk dan fungsinya, yang tentu saja akan berpengaruh kepada kebudayaan nasional. Saat ini kita mene- rapkan sistem pemerintahan gabungan antara "unitarianisem dan federalisme" yang dikonsepkan ke dalam otonomi dae- rah, begitu juga dengan kedudukan legis- latif, eksekutif, dan judikatif yang ditata ulang agar terjalin keseimbangan kekua- saan. Demikian juga kebudayaan Nasional Indonesia seharusnya dapat mengeks- presikan kepribadian bangsa kita. Dalam UUD kita kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Kata puncak memiliki nosi parsial, bahwa suatu unsur budaya nasional harus ber- mutu. Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang akan mengukur mutu atau pun- cak budaya daerah itu, dan bagaimana parameternya secara akurat. Padahal kalau kita lihat pemikiran di dalam estetika (filsafat keindahan), menurut penjelasan Marc Perlman, seorang filosof- antropolog, para filosof pada umumnya me- ngesahkan saja keindahan itu ditentukan. secara parsial oleh masyarakat pendu- kungnya-karena akan ditemui kesulitan dalam menentukan unsur-unsur universal dalam menilai kesenian atau keindahan. Dalam hal ini, kita akan dihadapkan akan menemui berbagai kendala dalam menen- tukan "puncak" atau "lembah" kebudayaan Menteri Kebudayaan Nasional: Gagasan Dan Penerapan Oleh: Muhammad Takari daerah. Mungkin kata yang lebih pas adalah "inti sari" kebudayaan daerah atau sejenisnya. tuk bahasa adalah bahasa Indonesia; un- tuk ekonomi pengelolaan gaya Indonesia, untuk organisasi sosial adalah ideologi ne- gara yaitu Pancasila, hukum nasional, dan tatakrama nasional; untuk kesenian ada- lah seni lukis masa kini, sastra dalam bahasa nasional, seni drama (juga film) masa kini. Penentuan unsur-unsur kebudayaan nasional yang memberi identitas dan wa- hana komunikasi serta penguat solidaritas nasional, yang dikemukakan Koentjara- ningrat di atas, menurut penulis sangat rigid, tak dinamik, dan bersuasana "etno- sentris". Bagaimanapun, kebudayaan na- sional masih akan terus berkembang seca- ra dinamik dan mengikuti tuntutan zaman yang berproses secara alamiah, tidak mutlak ditentukan oleh para intelektual, tetapi menurut fungsi dan bentuk pada masyarakat Indonesia yang bhineka tetapi tunggal ika itu. Sebah lukisan karya Kidro (80x 80 cm) yang khusus dibuat untuk harian Waspada yang bertajuk "Baca Koran Waspada". Raja Menteri Raja Menteri Raja Menteri Benar,tuan. Sudah saatnya jatah makan tuan dibagi- bagi untuk kami. Satu saat raja melihat sang menteri perutnya buncit. Mengapa perutmu lebih besar ketimbang aku? Itu membuktikan bahwa rajanya rela berkorban untuk bawahan. Lalu kenapa perutku sama kecilnya dengan perut rakyat? :Itu artinya raja telah merakyat. Kalau begitu aku jadi menteri saja. Baik. Saya siap jadi raja. Jarak, agaknya, bukan cuma bermula pada rasa lalai atau ketidaktahuan, tapi juga dari sebuah ruang dada bernama "mental feodal". Maka apalah arti sebuah keluh kesah rakyat yang miskin? Apalah arti sebuah komunitas terpencil dengan puluhan rumah rehek dari ketepas tanpa listrik, radio dan teve? Bukankah kata "rakyat" dan 'miskin" masih bisa diperdebatkan dengan kata "malas" dan "membangkang"? Begitulah rupanya tuan-tuan. Modernisasi dan sebuah jabatan melahirkan banyak dilema. Hidup jadi matrealistis, sementara setiap jabatan "hanya "menyediakan waktu 5 tahun. Untung selama waktu itu atasan senang. Kalau tidak? Lalu buat apa memikirkan lima tahun berikutnya? Bukankah ada orang lain yang menggantikan posisi itu dan memikirkan beban yang ditinggalkan? Banyak nyanyian sedih yang bisa dikutip dari beragam jarak yang telah tuan-tuan saksikan itu.Jarak itu sesungguhnya adalah sejarah diri tuan-tuan sendiri kekayaan dan kekuasaan bisa saja terbangun untuk tuan, tapi si miskin kian sengsara dan bertambah. Dengan semangkuk mimpi dan sesendok tabiat. Tabiat yang membuat peraturan, yang mengangkat sumpah.Tabiat yang kemudian mengingkari nurani kemanusian itu. Semangkuk mimpi dan sesendok tabiat di dusun Pardomuan memang tak sama dengan semangkuk mimpi dan sesendok tabiat yang ada di meja makan tuan-tuan. Dikotomi antara budaya Barat (Ok- sidental) dan Timur (Oriental) dan Timur (Oriental) yang begitu dipertajam pada masa polemik kebudayaan, tampaknya tidak lagi begitu relevan dikembangkan pada masa kini. Permasalahan utama ada- lah bukan kita mengambil budaya Barat atau secara kaku meneruskan budaya Ti- mur dengan berbagai kelebihan dan keku- rangannya, tetapi yang penting adalah bagaimana kita mengadun budaya dunia. dalam konteks memperkuat identitas bu- daya berdasarkan nilai-nilai universal. Ba- gaimana pun budaya Barat tidak anti bu- daya Timur atau sebaliknya. Bahkan Is- lam yang dianut sebahagian besar masya- rakat Indonesia sendiri mengajarkan un- tuk menerima berbagai budaya dunia dalam konteks tauhid kepada Allah. Islam juga telah menyumbangkan berbagai per- adaban modern ke seluruh dunia termasuk Barat. Ter asuk Islam adalah sarana tran- smisi peradaban Barat yang menetapkan asasnya pada zaman Yunani-Romawi. Demikian juga agama Protestan dan Katholik memiliki konsep inkulturasi yang sebenarnya adalah menerima unsur-unsur kebudayaan etnik seluruh dunia dalam konteks ajaran Gereja. Penerapan Dalam konteks penerapan kebudayaan nasional, selanjutnya Koentjaraningrat dengan kapasitasnya sebagai ilmuwan sosial yang berwawasan luas menunjuk beberapa unsur kebudayaan nasional In- donesia yang memenuhi dua fungsi utama yang dikemukakannya. Adapun unsur-unsur pemberi identitas nasional Indonesia, adalah: untuk bahasa adalah dan daerah, untuk teknologi yaitu teknologi arkeologi dan prasejarah, untuk organisasi sosial adalah organisasi adat dalam mengelola irigasi di Bali, dan tatakrama adat; untuk mengetahuan yaitu ilmu obat-obatan tradisional usada di Bali dan Jawa; untuk kesenian adalah seni tekstil tradisional (batik, seni ikat, dan lain- lain), seni relief dan ukir, seni arsitektur candi, seni rias (pakaian daerah untuk wanita), seni lukis tradisional, seni suara tradisional (Bali, Jawa), seni tari tradisio- nal (Bali, Jawa), seni tari bela diri (Pencak silat Minangkabau, Sunda, Jawa), seni dra- ma tradisional (wayang), dan seni musik. Selanjutnya, unsur-unsur wahana komuni- kasi dan penguat solidaritas nasional, un- Dalam kurun waktu 57 tahun Indone- sia merdeka, penerapan kebudayaan nasio- nal terus berkembang mencari bentuk, na- mun terbentuk melalui berbagai proses: (a) ada yang terjadi secara wajar menurut fungsi-fungsi sosial budaya pada masyara- kat: (b) ada pula yang berkembang melalui saluran-saluran institusi tertentu dalam masyarakat: (c) ada yang muncul karena keinginan elit penguasa; (d) ada kecende- rungan bahwa yang dimaksud budaya na-sional itu adalah budaya yang dilakukan oleh kelom- pok etnik mayoritas di Indonesia. Sampai sekarang budaya nasional kita tercermin dalam berbagai ide, kegiatan, maupun artifak. Dalam bidang bahasa mi- salnya kita bersyukur kepada Tuhan dan pendiri negara ini bahwa Indonesia Melayu dan disertai perkembangan bahasa kon- temporer menjadi bahasa nasiolan Indo- nesia. Prosesnya pun terjadi secara wajar tanpa pemaksaan. Beberapa bangsa di du- nia sampai sekarang masih mengalami gejolak dalam hal bahasa nasionalnya. Pakaian nasional kita kebaya untuk wanita dan peci, batik, atau jas juga meng- alami berbagai proses kesejarahan yang unik dan menarik. Begitu juga dengan ma- kanan khas dari daerah Minangkabau mi- salnya telah menjadi makanan yang dige- mari oleh sebagian besar bangsa Indone- sia. Teknologi pembuatan kapal pinisi mi- salnya dapat menjadi model bagi pembua- tan kapal tradisional Indonesia, atau tekno- logi kapal PAL di Surabaya. Sementara di dunia internasional teknologi kita juga di- akui kecanggihannya. B.J Habibie teknok- rat dan mantan presiden kita dikenal secara internasional rumus aerodinamika- nya untuk teknologi pesawat udara. Bebe- rapa siswa Indonesia dapat meraih juara dalam Olimpiade Fisika tingkat dunia, serta berbagai prestasi gemilang lainnya. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa sains internasional juga dapat kita kuasai dengan konsep kemitrasejajaran dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Begitu juga dengan ekonomi nasional kita yang digagas oleh Bung Hatta, yaitu ekonomi khas In- donesia sebagai hasil miksturisasi sistem ekonomi liberal dan sosialis, kiranya tetap relevan kita teapkan pada masa kini. Bu- kankah keterpurukan ekonomi yang kita alami sekarang ini, adalah bentuk "penye- lewengan dari kebijakan yang diambil oleh para pendiri bangsa ini. Demikian juga un- tuk unsur kebudayaan yang lainnya, bagai- manapun terus akan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam konteks kesenian misalnya seni dangdut walau awalnya kurang mendapat perhatian publik, akhirnya meluas secara nasional bahkan transnasional. Begitu juga dengan keroncong. Bahkan seorang etno- musikolog ternama Victorius Ganap dari Institut Seni Yogyakarta dalam suatu semi- nar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Pa- dangpanjang mengemukakan bahwa se- lain bahasa budaya Melayu juga menyum- bangkan masik sebagai budaya nasional Indonesia yang diistilahkannya dengan "musicafranca". Namun kesenian dari etnik manapun tentunya akan dapat ber- kembang menjadi budaya nasional nanti- nya melalui proses yang alamiah dan dialo- gis. Perkembangan yang baru di bidang tari dan musik misalnya adalah tari Poco-poco, Sajojo, dan Kulintang (dari Indonesia Ti- mur) yang begitu luas di gunakan dan dike- nal dalam kebudayaan masyarakat Indo- nesia, yang boleh pula dikategorikan seba- gai kesenian nasional. Demikian sekilas contoh-contoh penerapan kebudayaan nasional yang kita lakukan selama ini. Mudah-mudahan ke masa depan kita semakin sadar akan proses terbentuk dan berkembangnya kebudayaan nasional de- ngan berbagai fungsi, ciri-ciri, polarisasi, dan akhirnya akan memperkuat jati diri dan solidaritas kita sebagai sebuah bangsa dan negara, dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa- dalam rangka menuju masyarakat madani, atau yang di- istilahkan oleh Bung Karno masyarakat yang lohjinawi, kertaraharja, dan tata ten- teram. Insya Allah. MINGGU, 6 OKTOBER 2002 6 Abrakadabra Puisi-puisi M. Raudah Jambak Masih Merdekakah Kau Indonesia Masih merdekakah kau Indonesia Setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya Dalam kaleng rombeng, diantara recehan Milik para mengemis belia Yang mendendangkan kidung lara Bersama hembusan asap knalpot Dari oplet tua Masih merdekakah kau Indonesia Ketika musyawarah berubah dari mufakat Menjadi siasat, ketika wakil rakyat lebih Mewakili penjahat, ketika gedung dewan Lebih mirip kandang hewan dan ketika Para pejabat negara tega-teganya menjadi Penghianat bangsa Masih merdekakah kau Indonesia Dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham Maknanya karena matamu telah dibuatkan Dan mulutmu disekap rapat-rapat serta Telinga cuma sekedar bunga tanpa aroma Masih merdekakah kau Indonesia Padahal telah banyak disumbangkan Darah dan air mata dari berjuta nyawa Yang akhirnya cuma sekedar warna luka Masih merdekakah kau Indonesia Masih merdekakah? Ketika Upacara Dalam Rangka Merdeka Seorang anak kecil berdiri malu-malu Mengintip dari celah-celah pagar sekolah Di lengan kanannya tergenggam sepotong bendera Sambil mengikuti dengan hikmat Upacara dalam rangka merdeka Kepalanya terikat warna bendera Dadanya terbuka dan kakinya Beralaskan sandal yang beda ukurannya Seorang Satpam berdiri gagah Menghadap pembina upacara mengawasi Siswa yang mencuri canda ketika Berlangsungnya upacara dalam rangka merdeka Matanya menyala-nyala Tubuh tegapnya merubahnya Menjadi Singa Seorang anak kecil menangis tersedu-sedu Sambil memegang kuat-kuat terali pagar Sekolah sebab seorang Satpam telah Menariknya dengan paksa sesuai instruksi bapak kepala karena Dianggap telah mengusik upacara Dalam rangka merdeka Antara Mulut, Hati Dan Suara Mulut kita hanya bisa berkata-kata tanpa makna Walau hati yang paling terdalam rindu menempa Mutiara dalam magma segala alpa, tapi suara Telah menjadikan semua monumen abu yang hilang Tiba-tiba dalam belaian angin tanpa cuaca. SASS p-e-n-t-a-s Medan, 2002 Beberapa pendukung naskah "Kenneth Swayer Goodman" saat berdiskui menjelang latihan mereka Rencananya, pada akhir Oktober 2002 sebuah naskah terjemahan WS Rendra Kenneth Swayer Goodman" akan dipentaskan di Gedung Utama Taman Budaya Medan. Para pendukung naskah ini tampak sedang giat berlatih di Taman Budaya Medan. Hebatnya, yang menjadi sutradara adalah aktor panggung yang selama ini cukup di kenal di Medan ,Burhan Syarif. "Saya ingin belajar bagaimana jadi sutradara," aku Burhan saat ditemui di sela-sela latihan. Sementara, bertindak selaku suvervisor dan asisten sutradara adalah seorang sinaman asal Pematang Siantar, H.ERizal Kesuma gingting SH MBA. Menurut sang sovervisor, sebelum tampil di Taman Budaya Medan, lakon ini lebih dulu di pentaskan di Gedung Aditia, Pematang Siantar. "Mudah-mudahan apa yang kami buat nanti mampu memberi arti pada kerja selanjutnya. "papar Erizal. Maksudnya, dalam kelesuan dunia teater di Sumut ada beberapa kiat yang dilakukan: bergabung seniman Medan dan daerah untuk berekspresi di satu panggung. Bisa juga. Kita tunggu hasilnya. (c-bir) Siaran Minggu WASPADA Bang Bukt BANGUNAN bercat putih itu terliha megah dan anggun serta menawan dikelilingi taman hijau yang masih ditata dan dijaga. Konon pembangunan istana ini menelan dana 750 ribu gulden Bangunan yang punya nama lain Astana Akihaba BANGUNAN tinggi menjulang itu seakan tiada pernah sepi barang sekejap. Begitu juga dengan bangunan lain yang berada di daerah tersebut, terus saja ramai dipadati pengunjung. Hilir mudik orang yang keluar masuk tempat itu dan gemerlap lampu kerlap-kerlip di setiap bangunan di sana membuat suasana tampak selalu meriah. Kawasan itu disebut Akihabara, salah satu tempat di kota Tokyo, Jepang yang menjual segala macam alat eletronik. Di sini bisa ditemui semua jenis alat elektro- nik, dari mulai televisi, handphone ataupun tape recorder keluaran terbaru dan tercanggih sampai segala macam 7102 Penulis (kanan) bersama wartawan dari. "Salahuddi BERAKHIRNYA masa kolonialisme- tokoh sentral berpengaruh yang tidak Al Ayubi, pahlawan besar Islam, toko Tokoh-tokoh semacam Gamal Abdul Hussain dari Irak selalu disebut-sebut. karena mereka berani menentang Ame lebih nekad lagi. Sampai sekarang, dia yang ingin menggulingkannya dari keku pembela zionis Israel itu pada perang As Sultan Al Malik An Nashir Sal komando di dunia Arab dan Islam ya dari tentara Barat dalam perang Sali Salahuddin Al Ayubi lahir di Takrit, Palestina jatuh ke tangan kaum Nasrani diangkat Raja Attabey menjadi walikota B Al Ayubi memilih tinggal bersama pan 1164. Berkat pamannya pula kemudian Sal mazhab Syafii, menggantikan Syiah yar mendominasi Mesir serta melanjutkan p kaum salib Eropa yang menguasai Pa untuk mempersatukan Arab di bawah komm kembali Palestina, ia selalu berhasil. Hikayat Salahuddin identik dengan ke Waktu itu Salahuddin memaklumkan merdeka dari pengaruh Syam untuk me Nuruddin Ismail yang usianya belum Gerak Salahuddin Al Ayubi tidak te Mekah dan Madinah sudah terlebih dahu khalifah di Baghdad mengeluarkan me penguasa negeri Mesir, Maghribi, Naube dan Syria Tengah. Salahuddin Al Ayubi matang ditem pahlawan besar Islam pendahulunya sep la paham benar bahwa sebab musabab para pemimpin di Arab dan dunia Islam kekuasaan di antara mereka sen perebutan memilih untuk bergabung, membuat Penggabungan diri dengan musuh ini kelangsungan kekuasaannya. Itulah sebal Color Rendition Chart