Budaya Kekerasan Mengancam Kita

 

Suatu hari saya berkunjung ke rumah sahabat saya, isteri seorang expatriat Amerika . Rumahnya gede, indah teduh, terletak di kawasan elite Jakarta. Yang menarik tak ada televisi di rumah itu . Mengapa ? Katanya sang suami termasuk orang yang menolak menonton televisi baik di Amerika ataupun di Indonesia.

Sebagai orang Indonesia yang hidup sehari-harinya tak lepas dari televisi saya sempat heran ? Kok bisa ya ? Tetapi semakin lama saya mencermati tayangan televisi yang ada di negeri tercinta ini sayapun juga berpikiran ingin meninggalkan ketergantungan saya pada televisi , kotak ajaib yang telah menjadi candu pada diri kita .

Bergulirnya reformasi tahun 1998 dan berlakunya UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran mendorong bergeraknya gelombang informasi kearah kebebasan yang kadang seperti tak terkendali. Kita tahu sebelumnya di era Orde Baru terjadi ketertutupan saluran informasi bagi seluruh media termasuk didalamnya televisi .

Di tahun 1997 hanya ada 6 stasiun televisi, baik tv swasta ataupun pemerintah yang dijerat dengan berbagai aturan ketat sesuai keinginan pemerintah sehingga masyarakat tidak pernah mendapatkan akses informasi yang benar. Sekarang situasinya berbeda. Peran pemerintah semakin berkurang dalam kewenangannya , masalah informasi lebih banyak diserahkan kepada masyarakat . Pemerintah tidak bisa lagi menelpon para redaksi baik media cetak atau televisi untuk tidak menyiarkan berita tertentu atau “ membrangus” penerbitan pers seperti yang pernah menimpa Majalah TEMPO dan koran SINAR HARAPAN di masa lalu .

Menurut data SPS tahun 2005 ada 829 penerbit media cetak dengan tiras sekitar 17,4 juta eksemplar. Padahal di tahun 1997 hanya ada 289 penerbit media cetak. Sedangkan stasiun TV saat ini ada 65 stasiun dan lebih 2.000 radio yang bisa menjangkau 2/3 penduduk Indonesia . Pertumbuhan media massa dalam kurun waktu singkat berkembang sangat pesat. Dalam hal ini daya jangkau media elektronik khususnya televisi jauh lebih besar dibanding media lain . Dan karena bentuk sajian adalah audio visual maka televisi lebih diminati dan menarik perhatian masyarakat .

Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menyebutkan fungsi pers ada empat yaitu sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial (pasal 3). Tetapi dalam kenyataannya media elektronik khususnya televisi lebih mengedepankan hiburan.

Kalau kita mengamati program yang ada di televisi maka akan terlihat tayangan sinetron yang menyajikan mimpi , reality show yang mengobok-obok perasaan, infoteiment yang menampilkan “dosa-dosa” para pesohor , dan humor yang melecehkan harkat kemanusiaan merupakan program yang mendominasi siaran televisi . Di samping itu isi berita yang ada dan diekspose berulang-ulang acap kali menampilkan “sisi hitam” manusia yang sangat menyeramkan.

Salah satu contoh adalah fenomena pembunuhan mutilasi yang dilakukan Ryan pertengahan tahun 2008 . Berita pembunuhan tersebut setiap hari, setiap jam, setiap menit muncul dalam tayangan televisi bak air bah dan sepertinya kejadian mutilasi itu telah menginspirasi kejadian lain dalam peristiwa pembunuhan dengan berbagai kasus berbeda .

Kita tentunya juga masih ingat kasus tayangan “smack down” di era 2006 yang ditiru anak-anak ataupun merebaknya video porno seorang anggota DPR dengan penyanyi dangdut yang memberi ilham para pelajar berbuat serupa, merekam adegan “syur” dengan pasangan yang akhirnya adegan itu beredar di masyarakat, bahkan disinyalir menular ke anggota DPR lain bulan April lalu.

Sihir televisi ternyata telah membius masyarakat . Dalam tulisannya Ariel Haryanto mengatakan tidak hanya anak-anak , orang dewasapun tak kuasa melawan sihir televisi. Kita tak bisa keluar dari sihir kotak ajaib bernama televisi kendati kita telah mematikan TV –kita . Banyak orang menelan mentah-mentah tayangan televisi dan akhirnya menjerumuskan mereka bertingkah laku sama dengan tayangan itu.

Lihatlah bahkan sinetron kita yang berkedok agama saja menyajikan hal-hal “mistik” berupa kekejaman para dukun, ibu tiri yang galak menghajar anak, atau bapak yang menempeleng istrinya, anak menjambak rambut ibunya, remaja yang selalu jahat bahkan berbuat kriminal pada teman, muka babak belur dihajar preman , dan masih banyak lagi.

Pada segmen berita, televisi dan koran pun dipenuhi dengan berita, mahasiswa saling serang antar kampus, tawuran pelajar , bentrok pedagang kaki lima dan polisi pamong praja, jerit tangis eksekusi rumah, kekerasan geng motor , atau demonstran yang dihajar KO polisi. Semua tadi disajikan lugas, jelas, tanpa tedeng aling-aling. Berita kecelakaan Sukhoi terkesan lebay, tidak memperhatikan perasaan keluarga korban.

Setiap hari media meng-ekspose masalah kekerasan , kita terkepung didalamnya. Memang saat ini dalam menyiapkan materi media harus mempertimbangkan pasar. Menurut William L Rivers ukuran keberhasilan siaran tidak lagi terletak pada mutu tetapi apa yang mampu menyenangkan jutaan pemirsa, bukan yang diacungi jempol segelintir orang walaupun orang itu adalah cendekiawan atau seniman. Pada media televisi kita tayangan yang mengeskpose kekerasan banyak yang meraih rating tinggi . Seluruh acara televisi dikemas sedemikian rupa untuk meraih rating dalam upaya menggaet kue iklan sebanyak-banyaknya . Kualitas menjadi tidak penting karena harus mengalah pada selera pasar.

Lantas yang menjadi pertanyaan mengapa kita jadi “kepincut” menyaksikan tayangan itu ? Adakah memang demikian selera massal, naluri keinginan sebagian besar masyarakat kita ? Suka pada tontonan yang mengekspose kekerasan ? Dalam sebuah kolom di Solo Pos yang berjudul Catatat Harian Seorang Pemirsa ( 3 Desember 2006 ) dikatakan rendahnya mutu siaran bukan karena selera masyarakat kita rendah tetapi televisi-lah yang membentuk selera masyarakat, televisi telah menjejali penonton dengan produk hiburan yang cenderung tidak bermutu dan mendorong terjadinya pedangkalan nurani kita.

Televisi tidak hanya ditonton oleh masyarakat di kota besar tetapi dinikmati oleh seluruh penduduk negara kita juga yang tinggal di pelosok desa. Tidak hanya dilihat masyarakat yang punya pemahaman jernih, tetapi juga yang tidak paham bahwa tayangan yang setiap hari dilihat itu dapat berpengaruh pada pola pikir dan sikap mereka dalam menjawab kehidupan yang acapkali tidak ramah pada diri mereka . Banyak sekali penonton yang menelan mentah-mentah nilai-nilai yang diekspose oleh media tersebut termasuk diantaranya nilai-nilai kekerasan.

Melihat gejala itu tentulah perlu dicermati dan dilaksanakan dalam kebijakan pengelola televisi untuk lebih menyeimbangkan antara fungsi hiburan dengan fungsi lain dari televisi yaitu fungsi edukasi, informasi dan kontrol sosial. Para praktisi media hendaknya bekerja tidak hanya terjebak untuk kepentingan perusahaan semata tetapi juga untuk kepentingan masyarakat dan bangsa dengan meningkatkan kualitas tayangan.

Untuk mewujudkan upaya itu sebenarnya dimungkinkan karena ada lembaga-lembaga semacam Direktorat Penyiaran Kementeriaan Komunikasi dan Informatika , Komisi Penyiaran Indonesia, Dewan Pers , Ikatan Journalis Televisi, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Assosiasi Journalis Indaonesia ( AJI ) dan juga Media Wacth. Kehadiran berbagai lembaga tersebut sesungguhnya diharapkan lebih berperan dan mampu mengadakan dialog, interaksi, komunikasi yang intensif untuk menemukan jalan keluar agar kualitas tayangan televisi kita tidak sekedar menghibur tetapi dapat memenuhi ketentuan sesuai Undang-undang Pers. Tetapi sepertinya saat ini harapan itu belum mampu diwujudkan .

Kalau sudah demikian bagaimana lagi ? Masalah ini harus kembali pada upaya kita sendiri. Kita hanya bisa memulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga . Kita harus bersikap tegas tidak hanya untuk diri kita tetapi terutama pada anak-anak kita untuk tidak mudah diperbudak dan diatur hidupnya oleh televisi.

Mungkin tidak perlulah kita secara ekstrem menolak hadirnya televisi di rumah kita . Tetapi kita harus mampu memilih, menyeleksi tontonan yang layak dan boleh ditonton dan membiasakan diri mematikan televisi pada program-program yang menyajikan pedangkalan nilai – nilai etika kehidupan . Mengatur waktu menonton dan memilih siaran televisi, semua itu harus dilakukan dengan disiplin.

Ironisnya ada orang tua yang melarang anak menonton tetapi dia sendiri justru mencari hiburan , menikmatinya, menjadi penonton setia televisi yang telah mengubah semua aspek kehidupan menjadi perpanjangan dunia show biz. Seperti kata Neil Postman menghibur diri sampai mati !! ( Dra. Triwibawani MR )


Message Us on WhatsApp