Seminar
Sejarah Perkembangan Pers di Indonesia:
Independensi Media dalam Pemilu 2014
Kerjasama Monumen Pers Nasional Solo dan Universitas Airlangga Surabaya
- Latar belakang
Sejarah Pers di Indonesia tidak pernah lepas dari perkembangan politik di Indonesia. Pada jaman penjajahan, pers digunakan sebagai alat propaganda kaum penjajah. Sedangkan pers pribumi/nasionalis seperti Medan Priyayi menjadi salah satu alat perjuangan bangsa dengan mengobarkan semangat kebangsaan dan menumbuhkan rasa percaya diri kepada bangsa Indonesia untuk melawan penjajahan.
Pers pada awal kemerdekaan sampai Orde Lama, pers menjadi sarana yang dipakai pemerintah maupun oposisi untuk menyiarkan kebijakannya serta menjadi alat propaganda bagi beberapa partai politik (parpol) yang memiliki media/Koran semisal Suluh Marhaen (Partai Nasional Indonesia).
Pada era Orde Baru muncul istilah Pers Pancasila yang hakikatnya adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Namun kemudian pers mulai melakukan repolitisasi pada tahun 1990am dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru yang berakhir dengan “pembredelan” sejumlah media seperti Tempo, DETIK, dan Editor.
Kebebasan pers paling dirasakan para insan pers setelah pergantian pemerintahan yang dikenal dengan Era Reformasi dengan keluarnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Undang-undang ini, disebutkan jaminan kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga Negara, itulah sebabnya mengapa tidak disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit.
Saat ini pers telah mendapatkan kebebasannya bahkan terkesan kebablasan dalam menyebarkan informasi. Hal-hal yang seharusnya tidak disebarluaskan justru menjadi konsumsi publik karena mengejar “rating” untuk mendapatkan keuntungan dari iklan atau tujuan politik tertentu. Beberapa media yang pemilik/pemegang sahamnya petinggi parpol tak lagi menjaga independensi medianya bahkan justru menjadi media kampanye atau menyerang lawan-lawan politiknya dengan pemberitaan yang tidak berimbang. Puncaknya pada masa kampanye Pemilihan Presiden (pilpres) lalu, beberapa media elektronik, cetak dan online menjadi media black campaign yang saling serang. Bahkan muncul media baru yang lahir karena kepentingan politik saat itu saja sehingga membingungkan dan menimbulkan keresahan masyarakat.
2. Tujuan
- Menyajikan informasi sejarah pers Indonesia khususnya dari bidang politik
- Memberikan pendidikan politik dan media massa kepada masyarakat.
- Menjadikan masyarakat lebih melek media serta peduli dan mampu berpikir kritis akan perkembangan demokrasi bangsa ini.
.
3. Peserta
- Para pengajar pada jurusan ilmu komunikasi.
- Para mahasiswa jurusan ilmu komunikasi.
- Para aktivis pers mahasiswa.
- Kalangan jurnalis yang menjalankan liputan politik.
4. Pembicara
- Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Bp. Fredy H. Tulung
- Staf ahli menteri bidang hukum Kominfo, Drs. Syukri Batubara, Sh, MH
- Staf pengajar Departemen Komunikasi bidang media studies, Rachmah Ida, PhD
5. Penyelenggara
Monumen Pers Nasional Surakarta-Ditjen IKP-Kemkominfobekerjasama denganDepartemen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya
6. Pelaksanaan
Hari/Tanggal : Kamis, 25 September 2014
Pukul : 08.00-13.00 wib
Tempat : Garden Palace Hotel
Jl. Yos Sudarso No. 11 Surabaya
Peserta : sebanyak 100 orang