A. LATAR BELAKANG
Salah satu kekuatan yang cukup strategis dalam “mempengaruhi” perubahan budaya adalah pers dengan teknologi informasinya. Pada era paska-reformasi ini, sistem politik Indonesia memberikan kebebasan lebih pada pers untuk berekspresi jika dibandingkan pada era Orde Baru. Eksistensi pers saat ini lebih mendapatkan tempat untuk memosisikan diri sebagai kekuatan keempat (fourth estate) dalam suatu negara yang menganut sistem pemerintahan pembagian kekuasaan, seperti Indonesia. Pers adalah kekuasaan mandiri, setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Pers dengan teknologi informasinya dapat membuka dunia menjadi tanpa sekat, atau yang dikenal awam sebagai globalisasi. Melalui teknologi informasi, budaya global yang modern telah berinteraksi dengan budaya lokal yang tradisional untuk menghasilkan akulturasi budaya, di sinilah arus informasi dengan cepat mengakibatkan perubahan kultur masyarakat global.
Menurut Ritzer & Goodman (2005) globalisasi dapat dianalisa secara kultural, ekonomi, politik, dan atau institusional. Dalam masing-masing kasus, perbedaan kuncinya adalah pada meningkatnya homogenitas atau heterogenitas dalam masyarakat. Pada titik ekstrem, globalisasi kultur dapat dilihat sebagai ekspansi trans-nasional dari kode dan praktik bersama (homogenitas), atau sebagai proses di mana banyak input kultural lokal dan global saling berinteraksi untuk menciptakan semacam perpaduan yang mengarah pada pencangkokan kultur (heterogenitas). Tren menuju homogenitas seringkali diasosiasikan dengan imperalisme kultural atau dengan kata lain, bertambahnya kultur internasional terhadap budaya tertentu (Ritzer & Goodman, 2005: 588).
Bagi beberapa kalangan, terutama pemerhati dan pecinta budaya, imperialisme kultural atau desakan budaya modern di Indonesia dipandang sebagai ancaman yang akan membuat jati diri budaya kita luntur. Dalam proses ini, peran media massa sebagai wahana publik menjadi sangat strategis dalam menengahi dan mengkomunikasikan dialektika antara kekuatan global yang modern dan kekuatan lokal yang tradisional sehingga tercapai konstruksi budaya Nusantara yang kontekstual dan relevan dengan nilai-nilai kekinian.
Dialog budaya yang dimediasi, antara lain melalui teknologi informasi, merupakan bentuk tukar informasi dalam menyikapi perubahan, sedangkan transformasi budaya merupakan perubahan budaya masyarakat sesuai dengan perkembangan di lingkungan budaya yang bersangkutan. Pers kita harus selalu terlibat dalam perubahan budaya untuk menjadi semakin maju dan kaya makna. Dengan demikian, strategi komunikasi yang berkembang pun tidak lagi centrist vertical, melainkan komunikasi two way traffic yang dalam pandangan Peterson dan Burnett, telah terjadi komunikasi vertikal downward communication dan upward communication. Realitas tersebut merupakan angin surga bagi kehidupan pers di tanah air. Setidaknya, pers pada orde ini dapat lebih memberdayakan dirinya sembari tetap mempertahankan empat fungsi pokoknya, yakni, memberikan informasi (to inform), menjadi media pendidikan (to educate), sarana hiburan bagi masyarakat (to entertain), dan kontrol sosial (social control). Keempat fungsi pokok tersebut harus dikayuh dalam bingkai-bingkai norma yang berlaku, baik norma hukum, norma agama, norma susila, maupun norma-norma sosial lain (Hikmat, 2006).
B. RUMUSAN MASALAH
- Sejauh mana teknologi informasi berpengaruh terhadap perubahan budaya masyarakat Indonesia?
- Bagaimana media massa menerapkan teknologi informasi untuk mendukung fungsinya sebagai kontrol sosial-budaya?
C. TUJUAN
- Untuk menbahas pengaruh teknologi informasi terhadap perubahan budaya di masyarakat;
- Untuk mencari solusi bijak bagi media massa dalam memanfaatkan teknologi informasi sekaligus melaksanakan fungsi kontrol sosial-budaya.
D. MANFAAT KEGIATAN
Seminar ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam mendukung peran pers dan teknologi informasinya terhadap perubahan budaya masyarakat secara positif. Seminar ini melibatkan masyarakat interdisiplin, baik dari segi sasaran peserta maupun para narasumber. Narasumber mempunyai latar belakang disiplin yang berbeda, dalam hal ini ilmu budaya dan ilmu sosial (komunikasi). Adapun pesertanya akan melibatkan pula beberapa ahli, seperti antropolog, filusuf, teolog, linguist, ekonom, dan sosiolog, serta aktivis pers.
E. SASARAN PESERTA
- Badan Musyawarah Musea (Barahmus)
- Mahasiswa ilmu sosial dan humaniora
- Media Massa
- Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi
- Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
- Pemerhati Budaya
F. NARASUMBER DAN MODERATOR
Narasumber:
- Dr. Henry Subiakto (Staf Ahli Menteri Bidang Komunikasi dan Media Massa Kementerian Komunikasi dan Informatika)
- Dr. Hary Widiyanto (Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran)
- Drs. Djoko Dwiyanto, M. Hum. (Staf Pengajar Jurusan Arkeologi FIB UGM)
Moderator:
Jajang Agus Sonjaya, M. Hum. (Staf Pengajar Jurusan Arkeologi FIB UGM dan Komunikasi UMY)
G. WAKTU DAN TEMPAT
Hari/ Tanggal : Kamis, 14 Maret 2013
Waktu : Pkl. 08.30 WIB – selesai
Tempat : Hotel Inna Garuda, Jl. Malioboro Yogyakarta
H. PENYELENGGARA
Moumen Pers Nasional Surakarta bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2000. Pengantar dalam Buku Hans J. Daeng. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Cavallaro, Dani. 2004. Critical and Cultural Theory. Niagara. Yogyakarta.
Ginsburg, Faye D. et.al. (Ed.). 2002. Media Worlds: Anthropology on New Terrain. University of California.
Mulyana, Deddy dan Jalaludin Rahmat. 2003. Komunikasi Antarbudaya. Rosdakarya. Bandung.