Era globalisasi ditandai dengan makin terintegrasinya kehidupan sosial ekonomi suatu negara dengan dunia, tiga konsekwensi yang mau tidak mau harus terjadi adalah: terjadinya interaksi yan makin intensif antara berbagai bangsa dan negara ; makin meningkatnya saling keterkaitan dan ketergantungan dan saling mempengaruhi aktor politik diarena global dan intenasionalisasi berbagai peristiwa.
Pers Indonesia pasca reformasi sejak diundangkannya UU No. 49 tahun 1999 tentang pers 29 September 1999, menasbihkan Pers tidak lagi terikat oleh regulasi yang mengatur tentang penerbitan pers, tidak perlu lagi memiliki izin terbit (SIT/ SIUP) menerbitkan media dan diberikan kebebasan untuk menyiarkan berita sesuai dengan visinya. Kebebasan pers tersebut seiring dengan amanat UUD 45 pasal 28 yang menjamin kebebasan warga negara dalam menyatakan pendapat. Namun perlu pula diperhatikan kebebasan pers tidak boleh berbenturan dengan hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang sehat, objektif dan faktual yang tidak bertentangan dengan norma dan etika.
Pers mempunyai kewajiban moral untuk mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat dengan memberikan informasi yang mendidik, mencerahkan, memberdayakan dan menggugah rasa cinta terhadap tanah air.
Denis McQuail (1994: 132) menyebutkan saat ini Indonesia sedang mempraktekkan sistem pers demokratik partisipan. Tidak ada lagi lagi pihak yang mengontrol dan memonopoli informasi , semua kelompok, individu, pebisnis, komunitas lokal, organisasi sosial bebas mendirikan media pers dan mengoperasikannya
Pers pada masa reformasi telah menjadi industri ditengah kebebasan politik yang diperolehnya keterbukaan yang sangat luar biasa hanyalah menguatkan kecendrungan kapitalisme dalam bentuk konglomerasi media, konglomerasi media masa cenderung menghamburkan demokrasi karena informasi yang diangkat media lebih memihak pengusaha dari pada masyarakat.
Salah satu tugas pers adalah sebagai katalisator pembangunan yang dapat mewujudkan situasi yang kondusif, melalui pers dapat disampaikan pesan-pesan pembangunan, sekaligus menjaga situasi tetap kondusif, pers harus berimbang tidak hanya memberitakan tentang kekurangan, kesalahan dan kegagalan tetapi juga tentang keberhasilan pembangunan agar tidak terjadi disharmoni dimasyarakat, disamping itu pers harus memberikan efek positif, pers tidak hanya menyampaikan sesuatu secara vulgar, sebab penyampaian secara “apa adanya” tanpa memperhatikan dampaknya akan menimbulkan kekacauan ditengah masyarakat.
Pers diharapkan dapat menjalankan fungsinya yaitu menyampaikan informasi berdasarkan fakta dan kebenaran fakta, memberikan pendidikan, memberikan hiburan , melakukan kontrol sosial dan mentaati kode eti jurnalistik serta berfungsi pula sebagai lembaga ekonomi.
Pekerja pers yang baik tidak semata hanya menulis dan melaporkan berita dan peristiwa secara lengkap dan jujur dan bertanggung jawab tetapi juga memberi petunjuk arah transformasi dan perubahan berdasarkan cita-cita etik dan profetik moral dan idealisme hal ini berarti jurnalisme yang secara sadar harus bertanggung jawab memuat kandungan nilai dan cita-cita etik sosial didasarkan pada emansipasi, liberalisasi dan demokrasi yang diharapkan dapat memberikan pencerahan
Panggilan pers kedepan harus berlandaskan pada pola jurnalistik yang mampu menempatkan kekuatan etik dan moral dalam menentukan tulisan maupun analisis perlu diblow up atau tidak, bukan hanya berdasarkan pertimbangan komersial dan pemilik modal semata.
Masyarakat sudah semakin kritis dalam menilai pers, mereka akan dapat membedakan mana pers yang berkonotasi negatif dan mana pula pers yang positif. Pers yang positif akan tumbuh berkembang karena dibutuhkan masyarakat sementara yang berkonotasi negatif akan hilang ditinggalkan seiring dengan meningkatnya kemampuan literasi masyarakat.
Selamat tinggal pers “abal-abal” berselera rendah yang menjual sensasi, gossip, tahyul dan pornografi, hanya pers yang berkualitaslah yang akan mampu bertahan menghadapi gelombang perubahan.
Pers yang berkualitas hanya akan diperoleh dari wartawan yang berkualitas
memenuhi standar kompetensi wartawan, merupakan salah satu tolok ukur berkualitas tidaknya sebuah media, pekerja pers yang profesional disamping memiliki kemampuan yang mumpuni juga harus memiliki etika, mereka dituntut untuk menghasilkan karya jurnalistik yang bermutu serta dapat dipertanggung jawab moral dan tata nilai tugasnya dengan tetap memperhatikan Kode etik jurnalistik sebagai rambu-rambu.
Sesuai dengan tema Hari Pers Nasional tahun ini “Kebebasan Pers dari Rakyat untuk Rakyat”, dengan pers yang berkualitas akan mendorong percepatan kemajuan masyarakat, negara yang sejahtera dan menyejahterakan rakyatnya dapat segera terwujud . Selamat Hari Pers Nasional 2013. (Supardi, S.Sos)