Renungan dan Re-aktualisasi Tulisan Ki Hadjar Dewantara
“Satu orang tewas dalam tawuran pelajar di Jl Minangkabau Jaksel”, itulah kutipan judul berita di salah satu media online di Indonesia 29 Spetember 2012 lalu.
Memperihatinkan memang, dari semenjak jaman saya sekolah sampai saat ini budaya kekerasan seperti tawuran antar pelajar memang tak kunjung hilang. Peristiwa yang terjadi kebanyakan dipicu hanya masalah sepele, dari ejek-ejekan ataupun masalah “rebutan pacar”. Masalah yang seharusnya bisa diselesaikan secara damai dan dewasa, namun diselesaikan secara “premanisme” yang seharusnya tidak dilakukan oleh pelajar yang mendapatkan pendidikan formal disekolahan.
Berbagai pihak pun saling menyalahkan dan lempar tanggungjawab atas maraknya kenakalan remaja seperti ini mulai dari sistem pendidikan, guru, kurikulum dan lain sebagainya. Mungkin ada baiknya kita bersama merenungkan dan mengambil pelajaran dari beberapa penggalan buah pemikiran dari Tokoh Pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara yang ditulisnya dengan judul “Pengaroeh Keloearga didalam Pendidikan” yang beliau tulis di Madjalah Asia Raya Edisi 29-4-2603 (1943) koleksi Monumen Pers Nasional seperti dibawah ini:
Oentoek memboektikan besarnja pengaroeh dai hidoep keloearga terhadap wataknja kanak-kanak, soedah pernah orang-orang achli dinegeri Eropah menjelidiki statistieken (tjatatan-tjatatan yang sjah) dari kantor polisi dikota-kota jang besar. Terdapatlah disitoe, bahwa tidak koerang dari tiga perempat djoemlah kedjahatan-kedjahatan jang dilakukan kanak-kanak itoe berasal dari keloearga-keloerga jang roesak moralnja. Dr. Decroly, seorang achli jang termashoer pada zaman kini menetapkan, bahwa 70% dari anak-ana jang djatoeh kedalam djoerang kedjahatan itoe berasal dari keloearga-keloearga jang roesak kehidoepannja….
Keliroe sekalilah bilamana orang mengira, bahwa soedah tjoekoep djika anak-anak disekolahkan; dikiranja ta perloe lagi didalam roemah diadakan sjarat-sjarat pendidikan. Segala-galanja seolah-olah diserahkan “borongan” kepada goeroe-goeroenja kanak-kanak. Disinilah orang loepa, bahwa anak-anak diroemah sekolah itoe hanja l.k (lebih kurang:red) lima djam sadja;boeat sebagian besar hari jang lama dialaminja diloearnja pergoeroean, jaitoe didalam roemah keloearga atau didalam alam pergaoelannja dengan anak-anak lain.
Lain dari pada itoe djangan loepakan, bahwa menoeroet keadaanja organisasi sekolah setjara system Barat pada zaman jang lampau itoe, sebagian besar sekolah-sekolah itoe hanja mendidik ketjerdasan fikiran serta mempeladjari pelbagai ilmoe pengetahoean dan kepandaian. Pendidikan boedi-pekerti hanja sambil laloe sadja dilakoekan….
Marilah sekarang kita menengok keadaan atau soeasana didalam keloearga jang akan berpengaroeh koeat serta dalam itoe. Keadaan itoe bermatjam-matjam, misalnja: kemiskinan atau kekajaan, kesoetjian atau kerendahan moral, ketentraman ataoe keroesoehan, adanja anak-anak banjak ataoe hanja sedikit, barangkali hanja ada anak satoe sadja (“anak ontang-anting”), anak sering dimarahi atau dipoekeol, ada jan dimandja-mandjakan poela, begitoe seteroesnja. Semoea kedaan itoe masing-masingnja amat berpengaroeh pada djiwanja kanak-kanak dan bekas-bekasnja akan teroes nampak atau tersimpan didalam djiwanja.”Tersimpan” ini berarti tidak nampak, akan tetapi teroes-meneroes mempengaroehi hidoep kita; dalam bahasa asing inilah jang dinamakan “onderbewuste complexen”,ataoe sering terpakai dalam sifatnja jang boeroek, jang diseboet “minderwaardigheidscomplexen” Adapoen artinja “minderwaardigheidscomplexen” jaitoe:perasaan hina ataoe rendah, jang dalam-dalam tertanamnja didalam djiwa, hingga orangnja sendiri tak merasainja, akan tetapi teroes dipengaroehi oleh dasar perasaan itoe….
Itulah beberapa penggalan tulisan Ki Hadjar Dewantara yang memberikan nasehat pentingnya pendidikan anak didalam keluarga yang masih relevan sampa saat ini. Pada dasarnya keluargalah yang punya pengaruh besar dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak.
Jadi bentuk karakter dan kepribadian suatu bangsa ditentukan oleh para orang tua yang harus selalu peduli dengan anak-anaknya. Tak hanya sibuk mencari nafkah, tapi mereka juga punya kewajiban mendidik budi pekerti anak-anaknya yang mungkin sangat sedikit didapat dari sekolah. Dengan membekali diri akan pengetahuan tentang moralitas dan budi pekerti yang baik serta mengamalkannya ditengah keluarga dengan memberi contoh dan suritauladan yang baik, orang tua akan mampu menjauhkan anak-anaknya dari sifat-sifat tercela yang akan merusak suatu bangsa. (Ety Kurniasih)