Pers yang ideal harus mampu menjadi ruang publik , pers harus netral dari berbagai kepentingan kelompok tertentu tetapi pada kenyataannya tidak mudah . Terlebih lagi ketika akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah baik Gubernur, Bupati atau Walikota. Acapkali ada surat kabar yang seharusnya menampilkan reportase yang obyektif terlibat dalam pemberitaan yang menguntungkan (atau pun merugikan) sosok-sosok tertentu yang kemungkinan bakal mencalonkan diri sebagai gubernur atau wakil gubernur. Dalam situasi yang demikian, pihak yang dirugikan adalah publik itu sendiri. Publik tidak bisa mendapatkan informasi yang baik dan proporsional tentang kondisi perpolitikan yang riil akibat pers terlibat dalam politisasi pemberitaan. Menyikapi permasalahan ini maka Monumen Pers Nasional bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Komunikasi dan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang menyelenggarakan Seminar dengan tema Netralitas Pers Lokal dalam Pilkada Jawa Tengah , Selasa tanggal 11 September 2012 di Hotel Plaza Semarang.
Seminar dibuka oleh Dekan FISIP Universitas Diponegoro (UNDIP) , Drs Agus Hermani MM, dalam sambutannya dikatakan bahwa : “ Pers memiliki tanggungjawab sosial , jangan sampai pers terjebak pada kepentingan sesaat yang merugikan masyarakat , masyarakat mampu menilai apakah pers netral atau tidak dan mereka akan memilih obyektif dan independen”.
Seminar yang dipandu oleh moderator Hedi Pudjo Santosa ini menampilkan pembicara Henry Subiakto Staf Ahli Menkominfo Bidang Media Massa, Turnomo Rahardjo Dosen Jurusan Komunikasi FISIP UNDIP dan, M Rofiudin Jurnalis TEMPO dan Sekretaris Aliansi Jurnalistik Independen ( AJI )
Menurut Henry Subiakto , pers diharapkan memiliki peran yang cukup besar terhadap political empowerment terhadap warga negara di berbagai daerah. Pers diharapkan bukan hanya menyukseskan dengan menyebarkan electorate information tetang cara memberikan suara dalam pilkada tetapi juga melakukan voters education, pendidikan pada pemilih, mendiskusikan pentingnya pilkada langsung bagi masyarakat. Dengan demikian media massa juga mengajak publik untuk bersama-sama melakukan watching to the political process dalam pilkada.
Henry Subiakto juga mengemukakan beberapa poin yang harus diperhatikan dan dipersiapkan kalangan media untuk melakukan wactching to the political process selama pilkada. Diantaranya dikatakan : “ Idealnya wartawan harus mempelajari , memahami betul ketentuan tata cara pilkada. Kalau wartawan tidak mengerti, tidak paham maka akan terjadi kesalah dalam penulisan berita tentang hal tersebut” Lebih lanjut dijelaskan oleh Henry Subiakto : “ Media harus mempelajari cara-cara penyimpangan yang terjadi selama masa kampanye , saat pencoblosan maupun perhitungan suara sehingga media berperan sebagai pengawas. Tetapi ironisnya hal yang sederhana ini menjadi sulit ketika di lapangan banyak wartawan dan media yang justru jadi pemain. Tidak sedikit wartawan atau media menjadi tim sukses kandidat tertentu, bahkan ada black campain by design yang melibatkan media”.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Henry Subiakto Memang ada satu atau dua media yang telah membuat aturan internal untuk menjaga kredibilitas wartawannya, mengharuskan wartawan untuk non partisan, liputannya harus berpedoman pada independensi,akurasi dan fairness. Tetapi sungguh ironis banyak pemilik media , pemred atau redakturnya secara sembunyi-sembunyi atau bahkan terang-terangan malah menjadi tim sukses. Jadi bukan non partisan tapi mendekati para kandidat agar “dirangkul” menjadi bagian mereka.
Seperti yang dikemukakan oleh Henry Subiakto , pembicara kedua dalam seminar ini Turnomo Rahardjo , Dosen Jurusan Komunikasi UNDIP mengatakan : “ Dalam setiap pemilu selalu ada potensi media bersikap partisan kepada salah satu kandidat yang “didukung” oleh media yang bersangkutan, praktek semacam ini tentu saja merugikan publik karena media mengingkari netralitas dalam praktek jurnalismenya “.
“ Dalam konteks Indonesia , profesionalisme media ( wartawan ) relatif tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang memadai , mereka tidak cukup berdaya terhadap pihak-pihak yang melakukan intervensi terhadap isi media, kalau situasinya semacam ini tidak mungkin tercipta media sebagai ruang publik ” . kata Turnomo Rahardjo.
Berbagai pendapat yang telah dilontarkan di atas kiranya akan lebih lengkap apabila kita cermati juga pendapat dari praktisi pers yang dalam seminar ini dipaparkan oleh M Rofiudin , menurut pendapat Rofiudin adalah media sulit menjadi netral dalam pemberitaan pemilihan gubernur. Media akan selalu terjebak (dijebak) pada keberpihakan. Jika media memberitakan sebuah kasus calon gubernur maka berita itu akan menguntungkan calon gubernur yang lain. Berita yang ditulis seorang jurnalis akan selalu “tidak menyenangkan” atau “menyenangkan” bagi kelompok politik tertentu. Jadi secara praktik media , netralitas sulit diwujudkan .
Dalam makalah yang ditulis untuk seminar ini M Rofiudin menjelaskan kecenderungan media –media yang sahamnya dimiliki mayoritas personal tertentu akan sulit melakukan kritik auto kritik di redaksional karena pemilik modal di perusahaan itulah memiliki kekuasaan tertinggi , apalagi jika pemilik modal itu sudah masuk dalam partai politik. Berbeda bila saham perusahaan media dimiliki banyak orang.
M Rofiudin yang juga sekretaris AJI itu memaparkan :” Jika ketidaknetralan sulit dihindari ada prinsip-prinsip jurnalis yang bisa dilakukan, yakni independensi. Independensi adalah seoramng jurnalis bisa berdiri sendiri tanpa tunduk di “ketiak” pengiklan atau orang lain. Jika ada seorang menelpon jurnalis untuk memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu dan dia bisa dan mau menolaknya maka disitulah independensi”. Masih menurut M Rofiudin : “Selain independen media massa juga harus memberikan ruang yang sama dan proporsional terhadap para elite politik seperti yang dikatakan Bil Kovac bahwa elemen jurnalisme yang lain adalah: jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional”.
Dari tiga orang nara sumber dalam seminar ini bisa ditarik adanya persamaan pendapat yang menyatakan pada kenyataannya sulit ditemukan pers yang netral terkait pemberitaan tentang pilkada walaupun kalau dicermati masih dapat ditemukan pers yang berupaya menjaga netralitas dalam pemberitaannya.
Kondisi semacam ini memang memprihatinkan tetapi dengan kemajuan teknologi informasi masyarakat masih punya harapan, punya alternatif untuk “bersuara” mereka bisa memanfaatkan media-media alternatif untuk mengungkapkan kebenaran. Demikian juga para jurnalis , mereka bisa menuliskan berita dan gagasannya secara lebih netral lewat media alternatif di dunia maya. Media alternatif ini misalnya social media ( blogger, facebook, twitter dsb ) yang ternyata juga mampu menentukan opini publik . Publik dapat berpartisipasi gagasan dalam social media karena social media dapat menyediakan ruang yang mampu menampung “ banyak suara “ ( Arnain Dian Agustin, S.Sos )